
Pekanbaru- Bicara masalah kasus korupsi di Provinsi Riau tak ada habisnya. Bahkan para koruptornya selalu berganti dengan wajah baru. Penanganan hukumnyapun kian melemah karena diduga adanya faktor tebang pilih.
Sementara itu, Korps Adhyaksa Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau, yang diagung-agungkan masyarakat Bumi Lancang Kuning, dinilai masih belum menunjukkan keseriusannya dalam menangani kasus korupsi hingga saat ini.
Hal ini diutarakan Direktur Forum Masyarakat Anti Korupsi Riau (Formasi Riau) Dr Muhammad Nurul Huda SH MH. Kasus korupsi di Provinsi Riau banyak yang mangkrak, ditafsir hingga miliaran.
“Kalau kasus korupsi ini tidak dituntaskan, kita khawatir ini akan menjadi buah bibir di tengah masyarakat. Yang ada hanya tebang pilih,” ujar Nurul saat dihubungi Jumat (5/3/2021) siang.
Berkaca dari Kejaksaan Agung (Kejagung) yang menangani perkara korupsi sekaligus diusut dengan melibatkan banyak tersangkanya tanpa tersisa, menurut Nurul, Kejati Riau harusnya mengikuti prinsip tersebut.
“Kita inginnya Kejati Riau mengikuti jejak Kejagung dalam menangani kasus korupsi semuanya diusut. Jangan dicicil tersangkanya, hari ini dua, bulan besok dua lagi. Itu tidak efektif pembrantasan korupsinya. Kalau bisa sekaligus diusut semuanya,”Terang Nurul.
Dalam penangan korupsi, penyidik juga lebih melihatnya adanya kaitan dengan Pasal 55 KUHP disertakan, tentang ada yang menyuruh dan ada yang melakukan. Menurut Nurul semuanya harus diangkut.
Sejauh ini, Nurul menilai pola pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh Kejati Riau saat ini lebih memulainya dari bawah hingga ke atas. Cara ini, kata Nurul harus dirubah untuk memberikan penilaian terbaik bagi masyarakat.
“Misalnya, ada pengerjaan proyek. Masa PPTK -nya diangkut. Harusnya dari atas ke bawah, jangan dari bawah ke atas. Pola Kejati Riau ini harus diubah. Agar Kejati makin dicintai dan terdepan menangani kasus,” kata Nurul.
Kerja penegakkan hukum, menurut Nurul kerja pembangunan secara abstrak, artinya, kalau pejabat ini berubah karena ada rekannya ditangkap tandanya penegakkan hukum itu berhasil.
Sebaliknya, oknum pejabat ini ditangkap dan pejabat lainnya tidak berubah berarti ada keliru dalam penegakkan hukum.
“Di antaranya, penegakkan hukum yang tidak tuntas dan tuntutannya terlalu ringan serta putusan hakim terlalu rendah. Ini harus diperbaiki oleh penegakan hukum,” ujar Nurul.
Salah satu kasus korupsi yang dinilai Nurul belum tuntas, SPPD Fiktif semakin lambat diselesaikan akan menjadi tidak baik di tengah masyarakat. Dengan adanya pergantian pejabat baru Kajati Riau yang lama Mia Amiati dengan pejabat baru Jaja Subagja, diminta harus lebih tegas.
Munurut Nurul, kasus-kasus korupsi yang saat ini diduga masih jalan di tempat di kejaksaan, diminta agar dibuka kembali. Di antaranya, Bank Riau Kepri, Jembatan Pendamaran, kasus di Kuansing yang diduga melibatkan Mursini dan SPPD fiktif.
“Subagja ini harus lebih keras lagi dari pada Mia. Kalau tidak keras dalam pembrantasan korupsi, kita minta diganti dia ni (Subagja,red). Kita kasih waktu untuk dia 3 bulan dan minta dibawa lagi ke Kejagung ganti baru,” Tutup Nurul.
(Tim)