Resti Agrian Jurusan Hukum Tatanegara Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Bengkalis  “PERJANJIAN DALAM PERKAWINAN HUKUM PERDATA”

Foto : Jurusan Hukum Tatanegara Resti Agrian Jurusan Hukum Tatanegara Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Bengkalis

.

.

.

.

Pekanbaru- Prov.Riau – Resti Agrian Jurusan Hukum Tatanegara Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Bengkalis  menjelaskan bahwa “PERJANJIAN DALAM PERKAWINAN HUKUM PERDATA” dalam Perjanjian perkawinan merupakan perjanjian yang mengatur akibat suatu dari adanya ikatan perkawinan. Di Indonesia, perjanjian perkawinan diperbolehkan untuk dibuat sejak diberlakukannya KUH Perdata. Perihal perjanjian perkawinan ini kemudian dipertegas kembali dalam UU Perkawinan No 1 tahun 1974.Perjanjian perkawinan merupakan bagian dari lapangan hukum keluarga diatur dalam Buku I KUHPerdata (BW).ujarnya

Pengaturan perjanjian perkawinan dijelaskan pada Bab VII pasal 139 s/d 154. Secara garis besar perjanjian perkawinan berlaku dan mengikat para pihak/mempelai dalam perkawinan. Dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, Perjanjian Perkawinan didapati dalam Bab V, berisi satu pasal, yaitu pasal 29.

Salah satu azas yang terkandung dalam UU ini terkait dengan perjanjian perkawinan adalah hak dan kedudukan suami istri yang seimbang. Masing-masing pihak dapat melakukan perbuatan hukum secara mandiri. Perjanjian perkawinan dalam pasal 29 tidak mengatur secara tegas, sehingga secara implisit dapat ditafsirkan perjanjian perkawinan tersebut tidak terbatas hanya mengatur mengenai harta perkawinan saja, namun juga hal lain sepanjang tidak bertentangan dengan norma agama, ketertiban umum dan kesusilaan. Tutur Resti Agrian

ia juga menjabarkan bahwa “Esensi Perjanjian Perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 lebih luas dari pada makna perjanjian perkawinan yang terdapat dalam KUH Perdata (BW).

Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, memberikan pengertian mengenai perkawinan yaitu ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (Rumah Tangga) yang bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.Atas dasar ini, perkawinan diharapkan dapat membentuk keluarga bahagia dan kekal, serta diharapkan berjalan lancar, tanpa hambatan, dan bahagia selama-lamanya sesuai dengan prinsip atau azas dari suatu perkawinan. Papar resti agrian

Di Indonesia, terdapat 3 (tiga) produk peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah perjanjian perkawinan, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) atau Burgerlijk Wetboek (BW), Undang-Undang Nomor 1 tahun l974 mengenai Perkawinan, dan Inpres Nomor 1 Tahun 1974 tentang Kompilasi Hukum Islam. Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, sehingga di negara Indonesia telah terjadi unifikasi dalam bidang Hukum Perkawinan, kecuali sepanjang yang belum atau tidak diatur dalam undang-undang tersebut, maka peraturan lama dapat dipergunakan. Ungkapnya

Perjanjian perkawinan tidak hanya sebatas memperjanjikan masalah keuangan atau harta, ada hal lain yang juga penting diperjanjikan, misalnya kejahatan rumah tangga, memperjanjikan salah satu pihak untuk tetap berkarir meski sudah menikah dan lain sebagainya.Perjanjian kawin menurut KUH Perdata Pasal 139 sebenarnya merupakan persetujuan antara calon suami dan istri, untuk mengatur akibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka.

Oleh karena itu, perjanjian perkawinan dapat diadakan baik dalam hal suami-istri akan kawin campur harta secara bulat, maupun dalam hal mereka memperjanjikan adanya harta yang terpisah, atau harta diluar persatuan.
Undang-undang PerkawinanNo. 1 tahun 1974 pasal 29 menjelaskan :

a. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atau persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

b. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.

c. Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.

d. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.

Inpres Nomor 1 Tahun 1974 Tentang KompilasiHukum Islam pasal 47 menyatakan:
“Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan”

a. Perjanjian tersebut dalam ayat (1) dapat meliputi percampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan hukum Islam.

b. Di samping ketentuan dalam ayat (1) dan (2) di atas, boleh juga isi perjanjian itu menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan harta bersama atau harta syarikat.
Abdul Kadir Muhammad berpendapat, persyaratan perjanjian perkawinan adalah sebagai berikut:

1. Dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan.
2. Dalam bentuk tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat nikah.
3. Isi perjanjian tidak melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
4. Mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
5. Selama perkawinan berlangsung, perjanjian tidak dapat diubah.
6. Perjanjian perkawinan dimuat dalam akta perkawinan.

Syarat pembuatan perjanjian perkawinan dengan akta Notaris adalah untukmemperoleh kepastian tanggal pembuatan perjanjian perkawinan, karena kalauperjanjian perkawinan dibuat dengan akta di bawah tangan, maka ada kemungkinan bias back date (tanggal mundur) diubah isi perjanjian perkawinan dan syaratnya sehingga dapat merugikan pihak ketiga. Syarat tersebut juga dimaksudkan, agar perjanjian perkawinan mempunyai kekuatan pembuktian dan kepastian hukum tentang hak dan kewajiban calon pasangan suami isteri atas harta benda mereka. ujarnya

Selain syarat-syarat sahnya perjanjian perkawinan, KUHPerdata juga telah menentukan dengan terperinci beberapa ketentuan yang tidak boleh di jadikanpersyaratan dalam perjanjian perkawinan yaitu dalam Pasal 139-142 KUH Perdata, yang antara lain:

1. Tidak boleh bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum (Pasal 139 KUHPerdata).

2) Tidak boleh memuat syarat yang menghilangkan status suami sebagai kepalakeluarga, dan juga ketentuan yang memuat janji bahwa isteri akan tinggal secara terpisah dalam tempat tinggal kediaman sendiri dan tidak mengikuti terapi tinggal suami (Pasal 140 KUHPerdata).

3) Tidak boleh memuat perjanjian yang melepaskan diri dari ketentuan undang-undang tentang pusaka bagi keturunan mereka, juga tak boleh mengatur sendiri pusaka keturunan mereka itu. Tidak boleh diperjanjikan salah satu pihak diharuskan akan menanggung lebih besar hutang dari keuntungan yangdiperoleh dari kekayaan bersama. (Pasal 141 KUHPerdata).

4) Tidak boleh membuat perjanjian-perjanjian yang bersifat kalimat-kalimatyang umum, bahwa perkawinan mereka akan diatur oleh Undang-Undang.

Perjanjian Perkawinan merupakan perjanjian atau persetujuan yang dibuat oleh calon suami isteri, sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan untuk mengatur akibat-akibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka. Perjanjian ini tidak hanya sebatas memperjanjikan masalah keuangan harta, namun hal lainnya dapat pula di perjanjikan. Sebutnya

Perjanjian Perkawinan di Indonesia diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) atau Burgerlijk Wetboek (BW), Undang-Undang Nomor 1 tahun l974 tentang Perkawinan disertai dengan Peraturan Pelaksanaan Nomor 9 Tahun 1975, dan Inpres Nomor 1 Tahun 1974 tentang Kompilasi Hukum Islam. Dengan demikian, maka di Indonesia telah terjadi unifikasi dalam bidang Hukum Perkawinan.

Perjanjian Perkawinan dalam KUHPerdata atau Burgerlijk Wetboek (BW) masih tetap berlaku, sepanjang masalah yang berkaitn dengan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun l974, dan Inpres Kompilasi Hukum Islam Nomor 1 Tahun 1974. “Pungkas Resti Agrian Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Bengkalis Jurusan Hukum Tatanegara (*)