Siapa yang bilang Usaha perkebunan tak perlu Pakai surat izin, ? ini Tanggapan Direktur LBH Citra Keadilan Riau

Pekanbaru-Terkait adanya rumor dan isu di sampaikan Salah seorang direktur perkebunan dengan tak perlunya surat izin Perkebunan usaha. Seperti yang di beritakan media online beberapa hari lalu dengan judul link berita https://www.bualbual.com/2020/11/23/safrizal–kebun-kurma-luas-lahan-165-hektar-tak-perlu-pakai-surat-izin-perkebunan

“Sobaruddin yang juga ketua KORWIL salah satu serikat Buruh di Riau, humas Gabungan Wartawan Indonesia GWI provinsi Riau, dan juga Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Citra Keadilan provinsi Riau, siapa yang sebut Tak perlu ada surat izin perkebunan,?

Negara indonesia adalah negara hukum ada aturan hukum dan prosedurnya,” Kata Direktur LBH tersebut Selasa 23 /11/2020.

Ulasnya coba di pahami agar tidak gagal paham, “Pelaku usaha perkebunan adalah pekebun dan perusahaan perkebunan yang mengelola usaha perkebunan. Ucapnya

Pekebun adalah perorangan warga negara Indonesia yang melakukan usaha perkebunan dengan skala usaha tidak mencapai skala tertentu sedangkan Perusahaan perkebunan adalah pelaku usaha perkebunan warga negara Indonesia atau badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia yang mengelola usaha perkebunan dengan skala tertentu.

Adapun yang dimaksud dengan skala tertentu adalah skala usaha perkebunan yang didasarkan pada luasan lahan usaha, jenis tanaman, teknologi, tenaga kerja, modal, dan/atau kapasitas pabrik yang diwajibkan memiliki izin usaha. (Pasal 1 angka 7 UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan)

Terkait luas lahan usaha, pada prinsipnya terdapat tiga kategori usaha perkebunan yaitu besar, sedang dan kecil. Luas lahan perkebunan selanjutnya juga didasarkan kepada jenis tanaman yang ditanam. Sebagaimana pertanyaan saudara mengenai usaha perkebunan kecil (walaupun saudara tidak menjabarkan jenis tanaman yang ditanam) maka saya akan mencontohkannya. Untuk kelapa, karet dan kako maka luas lahannya yaitu 25 s/d 50 Ha sedangkan Kelapa sawit 25 s/d 100 Ha.

Berlanjut kepada jenis usaha perkebunan, terdapat tiga jenis usaha perkebunan, yang terdiri atas usaha budidaya tanaman perkebunan, usaha industri pengolahan hasil perkebunan dan usaha perkebunan yang terintegrasi antara budidaya dengan industri pengolahan hasil. Demikian diatur dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Pertanian No: 98/PERMENTAN/OT.140/9/2013 Tahun 2013 Tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan (Permentan 98/2013).

Lebih lanjut Permentan 98/2013 mengatur: Perkebunan dengan luas 25 (dua puluh lima) hektar atau lebih wajib memiliki Izin Usaha Perkebunan untuk Budidaya (IUP-B). (Pasal 8 ).

Usaha Industri Pengolahan Hasil Perkebunan kelapa sawit, teh dan tebu dengan kapasitas sama atau melebihi kapasitas paling rendah unit pengolahan hasil perkebunan wajib memiliki Izin Usaha Perkebunan untuk Pengolahan (IUP-P). (Pasal 9)

Usaha Budidaya Tanaman kelapa sawit dengan luas 1.000 hektar atau lebih, teh dengan luas 240 hektar atau lebih, dan tebu dengan luas 2.000 hektar atau lebih, wajib terintegrasi dalam hubungan dengan Usaha Industri Pengolahan Hasil Perkebunan dan Usaha Budidaya Tanaman Perkebunan yang terintegrasi dengan Usaha Industri Pengolahan Hasil Perkebunan wajib memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUP). (Pasal 10)

Sebelum mengurus IUP-B, IUP-P dan IUP, Perusahaan Perkebunan wajib memiliki Hak Guna Usaha. Berdasarkan Pasal 28 dan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) juncto Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah, Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu paling lama 25 atau 35 tahun, yang bila diperlukan masih dapat diperpanjang lagi 25 tahun, guna usaha pertanian, perkebunan, perikanan atau peternakan, dengan luas paling sedikit 5 ha.

Untuk memperoleh IUP-B, Perusahaan Perkebunan mengajukan permohonan secara tertulis dan bermeterai cukup kepada gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangan wilayah lokasi kebunnya, dilengkapi persyaratan sebagai berikut: (Pasal 21 Permentan 98/2013)

a) Profil Perusahaan meliputi Akta Pendirian dan perubahan terakhir yang telah terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, komposisi kepemilikan saham, susunan pengurus dan bidang usaha perusahaan;

b) Nomor Pokok Wajib Pajak;

c) Surat Izin Tempat Usaha;

d) Rekomendasi kesesuaian dengan Perencanaan Pembangunan Perkebunan kabupaten/kota dari bupati/walikota untuk IUP-B yang diterbitkan oleh gubernur;

e) Rekomendasi kesesuaian dengan Perencanaan Pembangunan Perkebunan Provinsi dari gubernur untuk IUP-B yang diterbitkan oleh bupati/walikota;

f) Izin lokasi dari bupati/walikota yang dilengkapi dengan peta digital calon lokasi dengan skala 1:100.000 atau 1:50.000 (cetak peta dan file elektronik) sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan tidak terdapat izin yang diberikan pada pihak lain;

g) Pertimbangan teknis ketersediaan lahan dari dinas yang membidangi kehutanan, apabila areal yang diminta berasal dari kawasan hutan;

h) Rencana kerja pembangunan kebun termasuk rencana fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar, rencana tempat hasil produksi akan diolah;

i) Izin Lingkungan dari gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangan;

j) Pernyataan kesanggupan:

  1. memiliki sumber daya manusia, sarana, prasarana dan sistem untuk melakukan pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT);
  2. memiliki sumber daya manusia, sarana, prasarana dan sistem untuk melakukan pembukaan lahan tanpa bakar serta pengendalian kebakaran;
  3. memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar yang dilengkapi dengan rencana kerja dan rencana pembiayaan; dan
  4. melaksanakan kemitraan dengan Pekebun, karyawan dan masyarakat sekitar perkebunan;

k) Surat Pernyataan dari Pemohon bahwa status Perusahaan Perkebunan sebagai usaha mandiri atau bagian dari Kelompok (Group) Perusahaan Perkebunan belum menguasai lahan melebihi batas paling luas sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 17 Permentan 98/2013.

Untuk memperoleh IUP-P, Perusahaan Perkebunan mengajukan permohonan secara tertulis dan bermeterai cukup kepada gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangan wilayah lokasi kebun, dilengkapi persyaratan sebagai berikut: (Pasal 22 Permentan 98/2013).

a) Profil Perusahaan meliputi Akta Pendirian dan perubahan terakhir yang telah terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, komposisi kepemilikan saham, susunan pengurus dan bidang usaha perusahaan;

b) Nomor Pokok Wajib Pajak;

c) Surat Izin Tempat Usaha;

d) Rekomendasi kesesuaian dengan Perencanaan Pembangunan Perkebunan kabupaten/kota dari bupati/walikota untuk IUP-P yang diterbitkan oleh gubernur;

e) Rekomendasi kesesuaian dengan Perencanaan Pembangunan Perkebunan Provinsi dari gubernur untuk IUP-P yang diterbitkan oleh bupati/walikota;

f) Izin lokasi dari bupati/walikota yang dilengkapi dengan peta digital calon lokasi dengan skala 1:100.000 atau 1:50.000, dalam cetak peta dan file elektronik sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan tidak terdapat izin yang diberikan pada pihak lain, kecuali lokasi yang diusulkan untuk pendirian industri pengolahan hasil perkebunan;

g) Jaminan pasokan bahan baku Rencana kerja pembangunan usaha industri pengolahan hasil perkebunan;

h) Izin Lingkungan dari gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangan;

i) Pernyataan kesediaan untuk melakukan kemitraan

Untuk memperoleh IUP, Perusahaan Perkebunan mengajukan permohonan secara tertulis dan bermeterai cukup kepada gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangan wilayah lokasi kebun, dilengkapi persyaratan sebagai berikut: (Pasal 23 Permentan 98/2013).

a) Profil Perusahaan meliputi Akta Pendirian dan perubahan terakhir yang telah terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, komposisi kepemilikan saham, susunan pengurus dan bidang usaha perusahaan;

b) Nomor Pokok Wajib Pajak;

c) Surat Izin Tempat Usaha;

d) Rekomendasi kesesuaian dengan Perencanaan Pembangunan Perkebunan kabupaten/kota dari bupati/walikota untuk IUP yang diterbitkan oleh gubernur;

e) Rekomendasi kesesuaian dengan Perencanaan Pembangunan Perkebunan Provinsi dari gubernur untuk IUP yang diterbitkan oleh bupati/walikota;

f) Izin lokasi dari bupati/walikota yang dilengkapi dengan peta digital calon lokasi dengan skala 1:100.000 atau 1:50.000 (cetak peta dan file elektronik) sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan tidak terdapat izin yang diberikan pada pihak lain;

g) Pertimbangan teknis ketersediaan lahan dari dinas yang membidangi kehutanan, apabila areal yang diminta berasal dari kawasan hutan;

h) Jaminan pasokan bahan baku

i) Rencana kerja pembangunan kebun dan unit pengolahan hasil perkebunan termasuk rencana fasilitasi pembangunan kebun untuk masyarakat sekitar;

j) Izin Lingkungan dari gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangan;

k) Pernyataan kesanggupan:

  1. memiliki sumber daya manusia, sarana, prasarana dan sistem untuk melakukan pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT);
  2. memiliki sumber daya manusia, sarana, prasarana dan sistem untuk melakukan pembukaan lahan tanpa bakar serta pengendalian kebakaran;
  3. memfasilitasi pembangunan kebun untuk masyarakat sekitar sesuai Pasal 15 yang dilengkapi dengan rencana kerja dan rencana pembiayaan; dan
  4. melaksanakan kemitraan dengan Pekebun, karyawan dan Masyarakat Sekitar perkebunan.

l) Surat Pernyataan dari Pemohon bahwa status Perusahaan Perkebunan sebagai usaha mandiri atau bagian dari Kelompok (Group) Perusahaan Perkebunan belum menguasai lahan melebihi batas paling luas berdasarkan jenis tanaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Peraturan Menteri Pertanian No: 98/PERMENTAN/OT.140/9/2013 Tahun 2013 Tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan

Di dalam Pasal 15 huruf (i) Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 26/ Permentan/ OT.140/ 2/ 2007, sangat tegas disebutkan bahwa untuk memperoleh IUP, perusahaan perkebunan mengajukan permohonan secara tertulis kepada Bupati/Walikota atau Gubernur dilengkapi persyaratan hasil Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Ujarnya

(Lp/hamdani)