POLITIK DINASTI: Program dan Anggaran milik Bani dan Kroni Desa Anda dimana?

Jabar selidikasus.com -Menurut Nur Rozuqi,S.Pd. direktur LSM Lembaga Kajian Desa Indonesia sekaligus Ketua umum DPP Forsekdesi,menuturkan kepada awak Media pada Sabtu 9 mei 2020 melalui sambungan WhatsApp,Politik Dinasti tak pernah berakhir baik. Selain menyuburkan praktik nepotisme, itu juga rentan melahirkan perkara rasuah.

Nicollo Machiavelli dalam salah satu magnum opus-nya Il Principe (Sang Pangeran) berujar, kekuasaan harus digapai dan dipertahankan, meski harus membuang bab etika ke tong sampah. Jika filsuf era Renaisans itu masih hidup kini, barangkali ia akan tertawa melihat cara pemimpin mempertahankan kekuasaannya. Petuah Machiavelli rupanya masih abadi hingga sekarang. Ia dilanggengkan lewat dinasti politik, nepotisme jabatan, tukar guling, dagang sapi, dan bagi-bagi kue kepada para rente.

Terkait dinasti politik, Esty Ekawati dalam tulisannya Dilema Politik Dinasti di Indonesia (2015) menjelaskan, praktik ini jadi kian masif lantaran ada kebijakan otonomi daerah yang melahirkan Demokratisasi di tingkat lokal, di mana pemimpin daerah dipimpin langsung oleh warganya. Masalahnya, tingginya ongkos politik dan besarnya “keuntungan” yang diperoleh jika menjadi kepala daerah, akhirnya membuat angan-angan demokrasi daerah itu berbelok,Kini mereka yang duduk sebagai Kepala Daerah tak bisa dilepaskan dari para pejabat petahana, atau dinasti politik yang sudah ada sebelumnya,imbuhnya.

Masih menurut Nur Rozuki,Praktik ini makin subur setelah Majelis Konstitusi (MK) pada 8 Juli 2015 secara tak langsung melegalkan dinasti politik. MK saat itu membatalkan Pasal 7 huruf (r) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada, yang menerangkan, syarat calon Kepala Daerah (Gubernur, Bupati atau Walikota) tak mempunyai konflik kepentingan dengan petahana.

Bahkan tingkat kesuburannya merambah secara merata sampai ke desa-desa. Akibatnya terciptanya kondisi antara lain:

  1. Demokrasi mengalami stagnasi.
  2. Transparasi menjadi sesuatu yang mahal.
  3. Kapasitas dan kapabilitas aparatur menjadi kabur.
  4. Kebijakan menjadi jauh dari keberpihakan terhadap rakyat.
  5. Program dan anggaran laksana milik bani dan kroni.

Tragisnya ketika rakyat mempertanyakan hingga sampai melaporkan itu, selalu saja ada upaya ikut menutupi, melindungi, bahkan ada juga sampai ikut menakut-takuti rakyat,sehingga muncul pertanyaan
Lalu desa anda bagaimana ?
Pungkasnya.

Lp Oesep Sarwat,S.Pd.I Kaperwil Jabar.

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*