
Jakarta- Apakah perlu Kejaksaan memiliki kewenangan di bidang intelijen penegakan hukum? Naufal Arie Taufik Nurrahman, S.H. (23) yang merupakan seorang Asisten Advokat di IPRI Law Firm Jakarta menyampaikan pandangannya terkait pertanyaan tersebut. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan) telah menambahkan kewenangan Kejaksaan di bidang intelijen penegakan hukum tepatnya pada Pasal 30B. Pasal tersebut menyatakan bahwa Kejaksaan berwenang:
“a. menyelenggarakan fungsi penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan untuk kepentingan penegakan hukum;
b. menciptakan kondisi yang mendukung dan mengamankan pelaksanaan pembangunan;
c. melakukan kerja sama intelijen penegakan hukum dengan lembaga intelijen dan/atau penyelenggara intelijen negara lainnya, di dalam maupun di luar negeri;
d. melaksanakan pencegahan korupsi, kolusi, nepotisme; dan
e. melaksanakan pengawasan multimedia.”
Namun yang menjadi perhatian Arie adalah tidak terdapat penjelasan lebih lanjut mengenai kewenangan tersebut, satu-satunya hal yang diberikan penjelasan adalah Pasal 30B huruf d, yakni:
_“Yang dimaksud dengan “pencegahan korupsi, kolusi, dan nepotisme” adalah upaya di bidang intelijen penegakan hukum untuk melakukan pendeteksian dan peringatan dini terhadap korupsi, kolusi, dan nepotisme”_
Ia mengamini bahwa Kejaksaan diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara (UU Intelijen Negara) sebagai salah satu Penyelenggara Intelijen Negara dengan lingkup penegakan hukum dan fungsi intelijen tersebut dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana termaktub dalam Pasal 13 UU Intelijen Negara.
Oleh karena itu justru menurutnya sangat penting untuk menjabarkan lebih detail terkait dengan fungsi intelijen Kejaksaan dan mekanisme yang dilakukannya, termasuk pengawasan terhadap kewenangan tersebut. Saat ini, pengawasan terhadap Jaksa hanya dilakukan oleh Komisi Kejaksaan dan output dari pengawasan tersebut hanyalah berupa rekomendasi kepada Jaksa Agung maupun Presiden yang sifatnya tidak mengikat sebagaimana tertuang dalam Pasal 7 Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Kejaksaan Republik Indonesia (Perpres Komisi Kejaksaan).
Menurut Arie, kewenangan intelijen Kejaksaan tentu diperlukan dalam mencegah tindak pidana yang sifatnya kompleks seperti tindak pidana korupsi, kejahatan ekonomi, dan lain-lain. Selain itu, dengan hadirnya kewenangan intelijen dalam UU Kejaksaan ini, tentu memperjelas kewenangan yang dimiliki oleh Kejaksaan karena pada UU Kejaksaan sebelumnya tahun 2004 tidak disebutkan kewenangan tersebut. Namun di lain sisi, Ia juga tidak setuju apabila kewenangan intelijen yang dicantumkan sangatlah umum karena dapat menyebabkan multitafsir dan penyalahgunaan kewenangan, terutama pada frasa _“penggalangan untuk kepentingan penegakan hukum”_ dan _“pengawasan multimedia”_. Selain itu, hal yang menjadi sorotannya adalah pengawasan terhadap kewenangan intelijen Kejaksaan, karena menurutnya Komisi Kejaksaan perlu memiliki kekuatan yang lebih untuk dapat mengawasi kewenangan tersebut agar fungsi intelijen yang dimiliki Kejaksaan tidak disalahgunakan dan tetap terdapat check and balances pada tubuh Kejaksaan.
Atas dasar hal-hal tersebut, menurutnya penting untuk diadakan diskusi lebih lanjut terkait dengan kewenangan intelijen oleh Kejaksaan, terlebih RUU Kejaksaan telah masuk dalam Prolegnas DPR RI. Naufal Arie juga menyampaikan harapannya agar ke depan terdapat penguatan kewenangan Kejaksaan dengan tetap memperhatikan batas-batas yang ada sehingga penegakan hukum di Indonesia menjadi lebih baik, bahkan dalam konteks kewenangan intelijen ini, harapannya adalah terdapat pencegahan oleh Kejaksaan agar tindak pidana tersebut tidak terjadi.