Serang, selidikkasus.com – Bank pemegang Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) harus senantiasa menjaga likuiditasnya. Memastikan ketersediaan dana jika sewaktu-waktu diperlukan, baik sebagian maupun seluruhnya atas perintah Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD) selaku Bendahara Umum Daerah (BUD),” jelas Kepala Badan Pengelola an Keuangan dan Aset Daerah (BKAD) Pemerintah Provinsi Banten Hj. Rina Dewiyanti, SE.,MM.
RKUD, lanjut Rina, adalah rekening tempat penyimpanan uang daerah untuk menampung seluruh penerimaan daerah dan membayar seluruh pengeluaran daerah pada bank yang ditetapkan. Oleh karena itu BUD diwajibkan untuk menempatkan kas daerah pada bank umum yang sehat.
Penunjukan bank umum yang sehat ditetapkan dengan keputusan Kepala Daerah dan cukup diberitahukan kepada DPRD. Artinya, tidak memerlukan pembahasan dan persetujuan DPRD,” katanya dalam rilis keterangan resmi kepada Jurnalis selidikkasus.com, di Kota Serang, Sabtu (6/6/).
Dikatakan, pemindahan RKUD bisa dilakukan oleh seorang Kepala Daerah jika bank umum selaku pemegang RKUD lalai atau tidak dapat memenuhi kewajibannya.
Masih menurut Rina, dari sudut keuangan daerah sang Gubernur selaku pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah harus tetap menjaga ketersediaan kas daerah. Memastikan tidak menghambat proses pembangunan. Mengambil tindakan tertentu dalam keadaan mendesak terkait pengelolaan keuangan daerah yang sangat dibutuhkan oleh daerah dan/atau masyarakat.
Sedangkan Gubernur selaku pemegang saham pengendali terakhir pada Bank Banten juga harus menjaga komitment untuk menjadikan Bank Banten memiliki kondisi yang sehat.
“Dua pilihan dilematis. Yaitu memilih tetap mempertahankan RKUD di Bank Banten dalam kondisi likuiditas yang kritis, atau melakukan pemindahan RKUD pada bank umum yang sehat demi menyelamatkan dana kas daerah, tetapi berdampak buruk terhadap kondisi kesehatan Bank Banten,” ungkapnya.
Dikatakan, berdasarkan surat dari OJK, tanggal 15 Nopember 2019, hasil penilaian tingkat kesehatan Bank Banten posisi 30 Juni 2019, adalah tergolong peringkat komposit 3 (cukup sehat).
Namun, dengan demikian keadaan ini kian memburuk dan mengalami permasalahan likuiditas yang mendasar.
Hal ini tercermin dalam laporan keuangan Bank Banten pada posisi laporan tanggal 21 April 2020 dimana diketahui Rasio Likuiditas menjadi sangat mengkhawatirkan dan tidak efisien karena beban bunga lebih besar dari pada pendapatan bunga yang diperoleh. Hal ini memicu penarikan dana deposan oleh masyarakat.
“Faktanya, pada periode Maret sampai dengan pertengahan April 2020, sebelum terjadi pemindahan RKUD, telah terjadi penarikan deposito besar-besaran oleh masyarakat termasuk deposan inti hingga mencapai angka 1,7 trilyun rupiah. Hal inilah yang menjadikan kondisi likuiditas Bank Banten semakin kritis,” ungkapnya.
“Pengalihan RKUD dari Bank Banten kepada Bank BJB dilakukan oleh Gubernur pada tanggal 22 April 2020. Pada saat Bank Banten sudah tidak dapat menyalurkan dana yang diajukan BUD karena telah mengalami kondisi likuiditas kritis,” tambahnya.
Menurutnya, situasi itu menepis anggapan bahwa terpuruknya Bank Banten disebabkan oleh pengalihan RKUD, justru sebaliknya, penyebab dari RKUD dialihkan karena Bank Banten terlebih dahulu mengalami kesulitan likuiditas yang kritis.
“Pemindahan RKUD didasarkan pada fakta bahwa Bank Banten terlambat menyalurkan Dana Bagi Hasil Pajak Provinsi kepada Kabupaten/Kota untuk bulan Januari 2020 sebesar Rp.190 milyar lebih.
Kemudian Bank Banten tidak dapat memenuhi perintah BUD untuk menyalurkan Dana Bagi Hasil Pajak Provinsi kepada Kabupaten/Kota untuk bulan Februari 2020 sebesar Rp 181,61 miliar lebih hingga saat ini,” ungkap Rina.
“Selain itu, di tengah gencarnya penanganan Covid-19, Bank Banten tidak dapat memenuhi tagihan pihak ketiga. Salah satunya untuk pengadaan alat-alat kesehatan sebesar Rp 11,21 miliar lebih,”tambahnya.
Pemindahan RKUD, lanjut Rina, sebagai upaya menyelamatkan dana kas daerah sekaligus melakukan upaya penyelamatan Bank Banten, dalam rangka menjalankan perintah perundang-undangan. Jika tidak dilakukan, maka potensi kehilangan dana kas daerah yang akan tertahan di Bank Banten akan semakin besar. Saat ini dana kas daerah sebesar Rp. 1,9 triliun masih tertahan di Bank Banten.
Ditegaskan, Pinjaman Daerah hingga saat ini sama sekali belum direalisasikan. Pemprov Banten harus mengkalkulasi dengan baik serta menempuh prinsip dan prosedur pinjaman daerah yang sesuai dengan aturan, sehingga tidak menimbulkan biaya yang tinggi dan menekan kerugian semaksimal mungkin.
Dijelaskan Rina, Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SILPA) tahun sebelumnya sebesar Rp 900 miliar lebih telah digunakan pada APBD murni Tahun Anggaran 2020 sebesar Rp 655 miliar. Sisanya, Rp245 miliar lebih sudah digunakan pada saat realokasi dan refocusing 3 untuk penanganan Covid-19.
“Salah satu alternatif untuk menutup defisit cash flow tersebut dengan cara melakukan pinjaman daerah jangka pendek sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 56 tahun 2018 tentang Pinjaman Daerah,” pungkasnya..
[Tomy\Kaperwil Banten]