Riau/28/10/2025 kekecewaan mendalam terhadap PT Pasadena Biofuels Mandiri (PBM), penyedia Pembangkit Listrik Tenaga Biogas (PLTBg) Ujung Batu yang telah beroperasi selama dua tahun. Meskipun proyek ini diakui sebagai pionir energi terbaru di Riau, indikasi ketidaklengkapan dokumen perizinan tingkat kabupaten serta dugaan penghindaran kewajiban tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dan kontribusi pajak lokal telah memicu keresahan di kalangan warga setempat.
Suara ini disuarakan melalui ” Ariando Anggara Selaku Kabid HUKUM DAN ADVOKASI HMI BADKO Riau-Kepulauan Riau “, yang mewakili aspirasi pemuda dan masyarakat adat dalam memperjuangkan keadilan lingkungan dan ekonomi daerah.
Sejak mencapai Commercial Operation Date (COD) pada Mei 2023, PLTBg Ujung Batu berkapasitas 3 MW ini telah menyalurkan listrik ke PLN, memanfaatkan limbah cair kelapa sawit (POME) sebagai sumber energi bersih. Namun, di balik manfaat nasional tersebut, warga lokal merasa terpinggirkan. “Kami bangga dengan inovasi yang mengubah limbah menjadi listrik, tapi mengapa manfaatnya tidak menyentuh kami?
Dua tahun berlalu, tak ada satu pun program CSR yang nyata, seperti pelatihan kerja bagi pemuda desa atau perbaikan infrastruktur jalan yang rusak akibat aktivitas perusahaan,” ujar Ariando
Selaku Mahasiswa Aktivis HMI Riau-kepulauan Riau, yang juga aktif dalam advokasi isu lingkungan di Rokan Hulu.
Indikasi utama yang menjadi sorotan adalah ketidak jelasan dokumen perizinan tingkat kabupaten. Berdasarkan regulasi yang berlaku, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan, setiap proyek energi skala menengah seperti PLTBg wajib mengantongi Surat Keputusan (SK) Bupati terkait Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL-UPL) atau Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup (SPPL), yang diterbitkan melalui Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Rokan Hulu. Selain itu, Izin Lokasi dan Izin Usaha Industri (IUI) melalui Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) kabupaten juga menjadi syarat mutlak, sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbaru.
Hingga kini, warga dan aktivis belum menemukan rekam jejak publik dari dokumen-dokumen tersebut di situs resmi pemerintah daerah, meskipun perusahaan telah beroperasi secara komersial. Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah PT PBM telah sepenuhnya berkoordinasi dengan pemerintah kabupaten, atau justru memanfaatkan celah perizinan pusat dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk menghindari verifikasi lokal?
Lebih lanjut, kekecewaan semakin mendalam atas dugaan penghindaran kewajiban CSR dan kontribusi pajak. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, khususnya Pasal 33 ayat (3), mewajibkan perusahaan mengalokasikan minimal 2-3% laba bersih untuk program TJSL (Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan) yang diverifikasi oleh pemerintah daerah. Namun, laporan masyarakat menunjukkan nihilnya program tersebut: tidak ada bantuan pendidikan, kesehatan, atau pemberdayaan ekonomi bagi 500-an keluarga di Desa Sukadamai yang bergantung pada sektor pertanian sawit. Bahkan, dalam berbagai agenda desa dan kecamatan, perusahaan tidak pernah hadir untuk berkontribusi. Sementara itu, terkait pajak, warga menduga adanya ketidaktransparanan dalam pelaporan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) atau Pajak Penghasilan atas usaha (PPh Badan) ke Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kabupaten Rokan Hulu, yang seharusnya mendukung pendapatan asli daerah (PAD) untuk pembangunan lokal. “Ini bukan hanya soal uang, tapi martabat. Pajak dari operasi kami seharusnya kembali ke kami, bukan hilang di tengah jalan,” Ucap Ariando Anggara.
Situasi ini bukanlah kasus terisolasi. Di Rokan Hulu, yang dikenal sebagai lumbung sawit Riau, proyek energi hijau sering kali menjanjikan kemakmuran, tetapi berujung pada ketimpangan sosial jika tidak diimbangi dengan inklusi lokal. ” Himpunan Mahasiswa Islam (HMI Badko Riau-Kepulauan Riau) “, sebagai wadah aspirasi pemuda daerah, menilai bahwa ketidaklengkapan ini berpotensi melanggar prinsip good corporate governance (GCG) dan dapat memicu konflik sosial lebih luas, termasuk boikot operasional atau tuntutan hukum melalui pengaduan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Dalam rilis ini, kami dengan tegas menuntut:
1. Pengungkapan segera seluruh dokumen perizinan tingkat kabupaten oleh PT PBM, termasuk SK Bupati untuk UKL-UPL/SPPL dan Izin Lokasi, dalam waktu tujuh hari ke depan.
2. Penyusunan dan pelaksanaan program CSR minimal 2% laba tahunan, difokuskan pada pemberdayaan masyarakat desa.
3. Transparansi pelaporan pajak ke Bapenda, termasuk audit independen untuk memastikan kontribusi PAD yang adil.
“Kami tidak menolak kemajuan, tapi menuntut keadilan. PT PBM adalah mitra, bukan tamu yang datang dan pergi tanpa jejak,” tegas Ariando.
Kami mengajak Bupati Rokan Hulu, Anton ST,MM. serta pemerintah provinsi untuk memfasilitasi dialog multipartai guna menyelesaikan isu ini secara damai. Jika tuntutan ini diabaikan, masyarakat siap menggelar aksi simbolis seperti pengawasan komunitas di lokasi proyek, demi menjaga keseimbangan antara pembangunan dan kesejahteraan rakyat.
Hidup mahasiswa
Hidup Rakyat Indonesia
🔥🔥💚🖤