Untuk Lebih Memperkuat Profesionalisme Seorang Jurnalis, GWI Riau Lakukan Evaluasi

PEKANBARU- SKC Pasca terjadinya pergantian Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Gabungan Wartawan Indonesia (DPP-GWI) melalui Rapat DPP sebelumnya hingga diputuskan oleh Pendiri GWI. Akhirnya, H. Hasanundi, SH yang sebelumnya menjabat sebagai Waktetum, diangkat sebagai Ketum DPP GWI baru.

Ketua DPD GWI Provinsi Riau, Bowoziduhu mengatakan bahwa, setelah terjadinya pergantian posisi Ketum di DPP GWI, maka secara oromatis pihaknya juga akan melakukan evaluasi di tubuh DPD GWI Riau, demikian juga halnya dengan DPC GWI di Daerah yang dianggap tidak maksimal menjalankan Tupoksinya.

“Intinya tetap kita lakukan evaluasi dimulai dalam internal sendiri. Dari sekian persoalan yang dianggap menghambat jalannya Misi GWI di Riau ini, seperti oknum yang berambisi menguasai GWI secara tidak sehat, bahkan sudah ada 3 (tiga) orang yang menjatuhkan marwah GWI di Riau ini, Puji dan Syukur Allah yang memampukan kita untuk menuntaskan semuanya,” kata Bowozid.

Persoalan yang terjadi di Riau, tambahnya lagi, tidak lain adalah oleh karena para pecundang yang begitu berambisi jahat, baik di DPD, DPC hingga oknum di DPP sendiri. Persoalan di DPD GWI Riau sudah terjadi sejak Tahun 2013 lalu. Bahkan, sudah ada yang berstatus Tersangka di Polresta Pekanbaru hingga saat ini, baik oknum dari GWI sebelumnya maupun oknum ASN dari Pemko Pekanbaru.

“Bahkan sejak Tahun 2018, oknum dari DPP sendiri sudah memasuki Wilayah Riau dengan menerbitkan Surat Mandat GWI di Kabupaten Rokan Hilir tanpa saya ketahui. Diduga telah menerima sejumlah uang. Pada Tahun 2020, oknum di Bengkalis mencetak KTA di 2 (dua) Kabupaten dengan mencantumkan nama saya tanpa saya ketahui, kemudian saya pecat.

Selanjutnya, oknum Ketum GWI inisial SKS, kembali menerbitkan Surat Mandat, SK dan KTA yang bersangkutan di Bengkalis, tanpa diketahui pengurus DPP dan saya selaku pihak yang punya kewenangan di Riau dengan menggunakan Kop Surat, Kop, Stempel dan pihak yang menanda tangani surat yang tidak pada tempatnya,” ungkap Wartawan senior ini yang sudah menulis di Koran sejak Tahun 2000 hingga Koran Ke-9 saat ini kepada Pewarta media ini, Kamis (3/12/2020).

Secara tegas ia mengungkapkan bahwa, mempertahankan Wadah Pers yang sudah ada tidak segampang mempertahankan Wadah yang baru lahir. Karena sudah belasan Tahun mengabdi untuk melanjutkan Misi para Almarhum Pejuang GWI sebelumnya, maka apa pun siap untuk dipertaruhkan untuk menghadang upaya para pengecut itu.

Ke depan, pihaknya akan mengundang Ketua Umum DPP GWI serta Dewan Pers untuk menjadi Nara Sumber dalam gelaran Pendidikan dan Pelatihan Jurnalistilk Profesionalisme melalui Uji Kompetensi Wartawan (UKW), sehingga peserta Diklat UKW mendapatkan Sertifikat sebagai UKW Muda, Madya dan Utama.

“Tentu dalam korelasi UKW, sesuai dengan amanat UU RI No.40 Tahun 1999 pasal 15 ayat (2-e) tentang PERS. UKW menjadi domain Dewan Pers. UKW dimaksud, merupakan syarat penerbitan Sertifikat UKW oleh Dewan Pers, dasarnya yaitu Peraturan Dewan Pers No.4 Tahun 2017,” jelasnya.

Dengan UKW antara lain, wajib memahami dan menghayati secara baik UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Tentu saja, dua hal tersebut harus menjadi cermin pada karya jurnalistik bermutu baik. Maka setiap Jurnalis wajib berbahasa Jurnalistik secara baik dan benar.

“Hal ini tentu penting sekali untuk diingat oleh rekan-rekan, karya Jurnalistik adalah karya intelektual. Segala masalah yang muncul terkait dengan karya Jurnalistik, haruslah diselesaikan secara intelektual pula tanpa harus menciptakan sesuatu hal yang tidak berkaitan dengan kinerja kita,” paparnya.

Terkait dengan hal tersebut, setiap Jurnalis wajib memahami hukum positif, yaitu Undang-Undang, khususnya hukum publik atau Hukum Pidana, tanpa meremehkan perlunya mengetahui hukum privat atau Hukum Perdata. Setiap Jurnalis harus memahami secara baik pondasinya hukum publik, yaitu UU RI No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sangat lebih baik lagi jika memahami produk-produk hukum positif lainnya.

“Jangan sampai mengaku wartawan tapi tidak tau bedanya alat bukti dengan barang bukti, karena tidak memahami Hukum Acara Pidana. Untuk itu mari terus belajar banyak soal tentang Jurnalis. Memulai dari cara menulis bahasa Jurnalis, bagaimana supaya daya tarik pemirsa membaca karya kita tidak membuat mereka bosan.

Jika Jurnalis tidak memahami hukum, sangat rentan bahaya, baik bagi Jurnalis yang bersangkutan maupun bagi Medianya, maka saya berharap kualitas karya Jurnalistik, secara sepintas dan kasat mata hal itu dapat dideteksi dari kualitas bahasa Indonesia Jurnalistik yang digunakan dalam karya jurnalistiknya. Ingat, Pemirsa hanya bisa tertarik dalam isi berita kita melui Judul yang kita sajikan. Secara teknis, Redaktur / Editing lah yang lebih paham soal itu,” tuturnya. (**)

Lp: Perwakilan Riau.