
PEKANBARU – Universitas Sains dan Teknologi Indonesia (USTI) tengah menjadi sorotan publik. Dalam waktu hampir bersamaan, kampus ini diterpa dua isu besar yang menimbulkan keresahan di kalangan mahasiswa: dugaan penipuan mengatasnamakan BAAK dan pemilihan Presiden Mahasiswa (Presma) periode 2025–2026 yang dianggap ilegal.
Dugaan Penipuan Mengatasnamakan BAAK
Isu pertama mencuat ketika sejumlah mahasiswa USTI melaporkan menerima panggilan telepon dan pesan WhatsApp dari seseorang yang mengaku sebagai staf akademik atau BAAK. Dalam pesan tersebut, mahasiswa diminta untuk segera membayar denda sebesar Rp 78.500 dengan alasan keterlambatan penyerahan Kartu Rencana Studi (KRS).
Modus ini jelas mengundang kecurigaan, apalagi pihak kampus belum pernah mengumumkan adanya denda resmi bagi keterlambatan KRS. Namun, hingga berita ini diturunkan, belum ada klarifikasi atau sikap resmi dari pihak kampus terkait kebenaran informasi tersebut.
“Ini jelas meresahkan. Kami sebagai mahasiswa jadi bingung, apakah ini kebijakan resmi atau murni penipuan. Kampus harus cepat bertindak, jangan sampai mahasiswa jadi korban,” ungkap salah satu mahasiswa yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Ketiadaan klarifikasi dari pihak USTI membuat isu ini semakin berkembang liar. Sebagian mahasiswa bahkan menyebut kasus ini sebagai bentuk kelalaian kampus dalam menjaga transparansi informasi akademik.
Pemilihan Presma Diduga Tidak Sah
Belum selesai polemik soal penipuan, kampus kembali diguncang kontroversi pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Mahasiswa periode 2025–2026. Flyer yang beredar di media sosial menunjukkan dua mahasiswa telah terpilih sebagai Presma dan Wapresma.
Namun, pengumuman ini justru memicu kecurigaan. Banyak mahasiswa mengaku tidak pernah mendapat informasi tentang pendaftaran calon, tidak pernah melihat tahapan pemilihan, dan tidak pernah menggunakan hak pilih mereka.
“Pemilihan ini tidak transparan, tidak demokratis, dan jelas tidak sah. Bagaimana bisa mahasiswa diwakili oleh pemimpin yang lahir dari proses yang tidak melibatkan suara mahasiswa?” tegas seorang aktivis kampus USTI.
Kritik semakin keras karena pemilihan presma seharusnya menjadi simbol demokrasi kampus. Ketertutupan proses ini menimbulkan dugaan adanya rekayasa kepemimpinan yang berpotensi melemahkan legitimasi organisasi mahasiswa di USTI.
Menanggapi dua isu besar ini, Sayap Kiri USTI mengeluarkan pernyataan sikap tegas. Mereka menuntut:
1. Klarifikasi terbuka dari pihak kampus mengenai dugaan penipuan yang mengatasnamakan BAAK.
2. Penindakan tegas terhadap pelaku penipuan agar tidak ada lagi mahasiswa yang dirugikan.
3. Pembatalan hasil pemilihan Presma 2025–2026 yang cacat prosedur dan tidak sah.
4. Pelaksanaan pemilihan ulang dengan mekanisme yang demokratis, transparan, dan partisipatif.
“Kami tidak akan tinggal diam. Jika kampus dan BEM tetap menutup mata, mahasiswa siap mengambil langkah lebih jauh, termasuk aksi massa, untuk menuntut keadilan dan menjaga demokrasi kampus,” tulis pernyataan sikap mahasiswa USTI.
Dua kasus ini menunjukkan adanya krisis serius di tubuh USTI: krisis transparansi dan akuntabilitas. Mahasiswa menilai kampus tidak cukup sigap dalam memberikan informasi resmi, sehingga membuka celah terjadinya penipuan dan memunculkan kecurigaan atas integritas proses demokrasi mahasiswa.
Isu ini kini berkembang menjadi topik hangat di media sosial, dengan tagar seperti #USTIdiam dan #BemUSTIdiam ramai digunakan oleh mahasiswa sebagai bentuk protes.
Apabila tidak segera direspons, bukan tidak mungkin kasus ini akan meluas menjadi isu regional bahkan nasional, mengingat pentingnya demokrasi kampus sebagai miniatur demokrasi bangsa.