
RUTENG – Lembaga Pengkaji Peneliti Demokrasi Masyarakat (LPPDM) melalui juru bicaranya, Agapitus Jehabut, mendesak Kapolres Manggarai untuk segera menggelar perkara kasus mafia BBM bersubsidi yang kini semakin kompleks dengan munculnya dugaan keterlibatan oknum wartawan yang melakukan pemerasan. Kasus yang telah berjalan hampir dua bulan sejak Juli 2025 ini dinilai mengalami stagnasi dan memerlukan penanganan serius dari pihak kepolisian.
Kompleksitas kasus ini bermula dari dugaan penimbunan Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi jenis Pertalite dengan modus pangkalan minyak tanah fiktif di Kelurahan Watu, Kecamatan Langke Rembong, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT). Polres Manggarai telah melakukan pemeriksaan terhadap pemilik kios, sopir kendaraan pengangkut, oknum perwira polisi berinisial IKS, pihak SPBU Mbaumuku, serta istri dari perwira polisi tersebut. Kapolres Manggarai AKBP Hendri Syaputra, S.I.K. membenarkan bahwa pemeriksaan telah dilakukan oleh unit Profesi dan Pengamanan (Propam) serta Tindak Pidana Tertentu (Tipidter).
Keterlibatan oknum perwira polisi dalam kasus BBM ini kemudian menjadi celah bagi oknum wartawan untuk melakukan tindakan yang tidak etis. Dugaan penimbunan BBM bersubsidi mencuat setelah laporan warga yang menyebutkan adanya aktivitas mencurigakan di sebuah pangkalan minyak tanah yang sudah lama tidak beroperasi namun masih menjual Pertalite. Namun, alih-alih melakukan peliputan secara profesional, oknum wartawan berinisial KL justru memanfaatkan situasi ini untuk kepentingan pribadi.
Modus pemerasan yang dilakukan oknum wartawan tersebut dimulai setelah dia memberitakan keterlibatan oknum perwira dalam bisnis BBM. Usai diberitakan, oknum wartawan ini diduga menemui perwira tersebut dengan dalih “mengamankan” 20 wartawan yang bertugas di wilayah Manggarai. Dia mengancam akan menerbitkan berita negatif atau menyebarkan informasi kepada wartawan lain jika permintaannya tidak dipenuhi, sambil mengklaim sebagai perwakilan dari beberapa wartawan dan media di Manggarai.
Ancaman yang disampaikan oknum wartawan tersebut sangat terang-terangan dan mengintimidasi. Menurut sumber yang mengetahui kasus ini, oknum tersebut berkata, “Kalau Bapak tidak mau kasih uang, saya dan teman-teman wartawan lain akan serentak naikkan berita buruk dan sekarang saya sedang bersama-sama dengan mereka.” Tindakan ini jelas merusak citra profesi jurnalistik yang seharusnya independen dan beretika.
Dampak dari tindakan oknum wartawan ini langsung dirasakan oleh wartawan lain yang bekerja secara profesional di Manggarai. Patris Agat, salah satu wartawan yang bertugas di Kabupaten Manggarai, merasa dirugikan karena tindakan tersebut sangat berpengaruh terhadap penilaian publik tentang kinerja wartawan di wilayah Manggarai. “Saya sempat mendengar informasi bahwa ada oknum wartawan yang menjual nama-nama wartawan lain untuk menekan perwira yang bertugas di Polres Manggarai, demi kepentingan pribadinya,” jelas wartawan Idenusanta itu.
Keprihatinan wartawan profesional semakin dalam karena tindakan oknum tersebut mencoreng nama baik seluruh profesi jurnalistik. Patris menyatakan, “Kami sangat menyayangkan jika memang ada oknum yang merusak citra profesi wartawan. Jurnalisme yang sehat adalah jurnalisme yang profesional, beretika, dan tidak memeras. Kami mendukung penuh proses hukum untuk membersihkan nama baik wartawan di Manggarai.” Pernyataan ini mencerminkan keresahan komunitas pers lokal yang merasa profesi mulia mereka dinodai.
Pandangan senada juga disampaikan oleh Ardy Abba, wartawan senior yang kini menjabat sebagai editor EkoraNTT. Dia menyuarakan keprihatinan mendalam terhadap maraknya praktik pemerasan yang dilakukan oknum-oknum yang mengaku wartawan. “Jurnalisme adalah profesi yang mulia, berdiri di atas nilai-nilai kebenaran, integritas, dan keberpihakan pada kepentingan publik. Namun, akhir-akhir ini, kita menyaksikan dengan prihatin bagaimana sejumlah individu menyalahgunakan identitas pers untuk menekan, mengintimidasi, dan bahkan memeras narasumber, pejabat, hingga pelaku usaha dengan ancaman pemberitaan negatif,” jelasnya.
Kritik Ardy semakin tajam ketika menyoroti dampak jangka panjang dari tindakan oknum wartawan tersebut. “Tindakan ini bukan hanya melanggar Kode Etik Jurnalistik, tetapi juga merupakan tindak pidana yang merusak kepercayaan publik terhadap media dan mencederai perjuangan para jurnalis sejati,” tambahnya. Pernyataan ini menunjukkan bahwa dampak pemerasan tidak hanya merugikan korban langsung, tetapi juga seluruh ekosistem pers yang bekerja dengan integritas.
Keterkaitan antara kasus mafia BBM dan pemerasan oknum wartawan ini menjadi pembelajaran penting bagi semua pihak. Kejadian ini menjadi pengingat bagi seluruh elemen masyarakat untuk lebih waspada terhadap oknum yang menyalahgunakan profesi mulia wartawan demi keuntungan pribadi. Organisasi pers di Manggarai juga diharapkan dapat lebih aktif dalam mengedukasi anggotanya tentang kode etik jurnalistik dan memberikan sanksi tegas bagi yang melanggarnya.
LPPDM terus mendesak agar kedua kasus yang saling berkaitan ini segera ditangani secara tuntas oleh pihak kepolisian. “Kami melihat kedua kasus ini sebagai mata rantai yang saling terhubung – ada oknum perwira yang terlibat mafia BBM, kemudian ada oknum wartawan yang memanfaatkan situasi tersebut untuk memeras. Keduanya harus diproses hukum untuk menjaga kepercayaan publik terhadap penegakan hukum dan kebebasan pers di Manggarai,” tegas Agapitus dalam keterangan penutupnya.
Penulis/Editor : Marsel Ahang