LPPMD Laporkan Bupati Edi Endi ke Polda NTT Terkait Dugaan Penyimpangan SK Denda Hotel

KUPANG – Lembaga Pengkaji Peneliti Demokrasi Masyarakat(LPPMD) resmi melaporkan Bupati Manggarai Barat, Edi Endi, ke Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Timur atas dugaan penyimpangan dalam penerbitan Surat Keputusan (SK) sanksi administratif kepada 11 hotel di kawasan sempadan pantai Labuan Bajo.

Berdasarkan surat panggilan penyelidikan bernomor B/647/VII/RES.5.3/2025/Ditreskrimisus yang ditandatangani Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda NTT, AKBP Rachmatulloh Irawan, S.I.K., M.H., pihak kepolisian telah membuka penyelidikan pidana terhadap dugaan pelanggaran yang dilakukan Bupati Edi Endi dalam kasus ini

Polemik ini bermula dari penetapan sanksi administratif terhadap 11 hotel di Labuan Bajo melalui SK Bupati Manggarai Barat Nomor 277/KEP/HK/2021 tentang penetapan sanksi administratif kepada pemilik bangunan hotel yang melanggar ketentuan pemanfaatan ruang sempadan Pantai Pede dan Pantai Wae Cicu di Kecamatan Komodo.

Ketujuh hotel di sepanjang Pantai Pede yang terkena sanksi adalah Atlantis Beach Club, The Jayakarta Suites, Sudamala Resort, Puri Sari Beach, Luwansa Beach Resort, Bintang Flores Hotel, dan La Prima. Sedangkan empat hotel di Pantai Wae Cicu meliputi Plataran Komodo, Sylvia Resort Komodo, Ayana Komodo Resort, dan Waecicu Beach Inn.

Bupati Edi Endi sebelumnya menyatakan bahwa SK tersebut lahir dari keresahan banyak pihak yang melihat pantai sebagai area publik kemudian seolah diprivatisasi oleh hotel-hotel. “Dikeluarkannya SK ini semuanya berangkat dari keresahan banyak pihak yang kalau dilihat area tersebut adalah area publik tapi kemudian semacam diprivatkan,” kata Edi Endi dalam keterangan sebelumnya.

Total denda yang dibebankan kepada 11 hotel tersebut mencapai Rp 34 miliar. Menurut Bupati, dana tersebut akan dimanfaatkan untuk pembangunan sarana publik seperti jalan akses masuk ke pantai hingga gedung parkir.

Sekretaris Jenderal LPPMD, Gregorius Antonius Bocok, S.H., yang bertindak sebagai pelapor, menemukan berbagai kejanggalan dalam proses penerbitan SK kontroversial tersebut, baik dari segi prosedural maupun substansial penetapan denda.

“Kami menemukan banyak kejanggalan dalam SK yang diterbitkan oleh Bupati Edi Endi, mulai dari prosedur penerbitan hingga penetapan nominal denda yang mencapai Rp 34 miliar kepada 11 hotel tersebut,” ungkap sumber yang mengetahui isi laporan tersebut.

Kejanggalan tersebut semakin menguat setelah dua hotel, Sylvia Resort Komodo dan Ayana Komodo Resort, berhasil memenangkan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Kupang. Kemenangan gugatan ini menunjukkan adanya kelemahan fundamental dalam SK yang diterbitkan Pemkab Manggarai Barat.

Dari 11 hotel yang terkena sanksi, realitas di lapangan menunjukkan ketidakpatuhan yang tinggi terhadap SK tersebut. Hingga kini hanya dua hotel yang telah melunasi denda: Atlantis Beach Club dengan denda Rp 293,3 juta dan Plataran Komodo sebesar Rp 1,5 miliar.

Dua hotel lainnya, Sylvia Resort Komodo dan Ayana Komodo Resort, justru melayangkan gugatan ke PTUN Kupang dan berhasil memenangkannya. Merespons kekalahan di PTUN, Bupati Edi Endi melakukan upaya Peninjauan Kembali (PK) dengan dalih sebagai “pertanggungjawaban moril.”

Tujuh hotel lainnya masih menunggak pembayaran denda dengan rincian: The Jayakarta Suites (Rp 347,6 juta), Sudamala Resort (Rp 1,15 miliar), Puri Sari Beach (Rp 312,3 juta), Luwansa Beach Resort (Rp 213,8 juta), Bintang Flores Hotel (Rp 1,18 miliar), La Prima (Rp 5,82 miliar), dan Waecicu Beach Inn (Rp 907,9 juta).

Polda NTT telah memanggil Gregorius Antonius Bocok, S.H. selaku pelapor untuk memberikan keterangan pada Rabu, 16 Juli 2025 pukul 09.00 Wita di Ruang Subdit 4 Tipidter Ditreskrimisus Polda NTT, Jalan Anandya Marco Diaz, Oebobo, Kupang.

“Sehubungan dengan rujukan di atas, dimohon kepada saudara untuk dapat hadir dan memberikan keterangan,” bunyi surat panggilan yang mengklasifikasikan perkara ini sebagai “Biasa” namun terkait dengan “undangan klarifikasi.”

Penyelidikan ini mengacu pada berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dan UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Sebelum laporan LPPMD mencuat, Direktorat Jenderal Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang Kementerian ATR/BPN, Dwi Hariyawan, sempat memuji langkah Pemerintah Manggarai Barat dalam menindak pelanggaran tata ruang.

“Upaya yang dilakukan oleh Pemkab Manggarai Barat terhadap 11 hotel yang melanggar ketentuan pemanfaatan ruang sempadan pantai mengalami progres yang baik, namun tetap mengedepankan langkah persuasif,” kata Hariyawan sebelumnya.

Hariyawan bahkan menjanjikan bantuan pemerintah pusat dengan menyatakan, “Labuan Bajo ini adalah KSPN (Kawasan Strategis Pariwisata Nasional), jadi menjadi tugas pusat juga. Jika bupati kesulitan memanggil para pemilik hotel, kami akan membantu.”

Namun, dengan munculnya dugaan penyimpangan dalam penerbitan SK, dukungan tersebut kini dipertanyakan. Dalam UU Cipta Kerja telah diatur bahwa tata ruang sebagai payung pembangunan sehingga para pihak harus taat dan patuh, namun penerapannya harus sesuai dengan koridor hukum yang berlaku.

Kasus ini menimbulkan kekhawatiran serius bagi pelaku industri pariwisata di Labuan Bajo. Ketidakpastian hukum yang berkepanjangan dapat berdampak negatif terhadap iklim investasi di kawasan yang menjadi andalan pariwisata Indonesia ini.

Keputusan PTUN Kupang yang memenangkan gugatan dua hotel menunjukkan adanya permasalahan serius dalam SK yang diterbitkan. Ditambah dengan laporan dugaan penyimpangan terhadap Bupati Edi Endi, kompleksitas hukum kasus ini semakin meningkat.

Labuan Bajo sebagai pintu gerbang menuju Taman Nasional Komodo memang tengah mengalami perkembangan pesat di sektor pariwisata. Namun, pembangunan infrastruktur wisata tidak boleh mengabaikan ketentuan tata ruang dan kelestarian lingkungan. Di sisi lain, penegakan hukum juga harus dilakukan secara proporsional dan sesuai dengan prosedur yang benar.

Penyelidikan terhadap Bupati Edi Endi diharapkan dapat mengungkap kebenaran terkait dugaan penyimpangan dalam penerbitan SK denda. Kepastian hukum sangat diperlukan, baik bagi pemerintah daerah dalam menjalankan kewenangannya maupun bagi investor dalam mengembangkan bisnis di sektor pariwisata.

Pihak kepolisian belum memberikan komentar lebih lanjut terkait substansi laporan  LPPMD. Demikian pula Bupati Edi Endi belum memberikan tanggapan resmi atas laporan yang ditujukan kepadanya.

Sementara itu, para pemilik hotel yang terdampak juga masih menunggu kepastian hukum dari kasus yang telah berlangsung bertahun-tahun ini.

 

Penulis/Editor : MA – NTT