“Kontroversi Pemilu Tertutup: Perlukah KPU Dibubarkan untuk Solusi Lebih Baik?”

Marsel Nagus Ahang.SH.

 

 

 

 

Opini-Andaikan Mahkamah Konstitusi memutuskan penggunaan sistem pemilu secara proposional tertutup, pelaksanaan Pemilu 2024 berpotensi menghadapi penundaan. Tidak hanya itu, MK juga akan dinilai melampau wewenang Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal ini berimplikasi pada kesulitan KPU sendiri dalam menentukan alokasi kursi di lembaga legislatif tanpa keterlibatan langsung pemilih dalam pemilihan kandidat individu.

Sebab, dengan sistem proporsional terbuka, setiap suara yang diberikan oleh pemilih memiliki nilai yang sama dan diwakili secara proporsional dalam pembagian kursi parlemen. Hal ini memastikan bahwa suara setiap individu dihargai dan diakui dalam proses demokrasi.

Proporsionalitas juga memberikan kesempatan bagi berbagai kelompok dan partai politik untuk terwakili secara adil, mewakili beragam pandangan dan kepentingan dalam masyarakat. Dalam konteks ini, proporsionalitas mencerminkan prinsip inklusivitas dan penghargaan terhadap keragaman opini dalam sistem politik. Oleh karena itu, penulis percaya bahwa proporsional merupakan elemen kunci yang menjadikan pemilu sebagai sarana yang adil dan representatif dalam menentukan keputusan politik.

Jika pemilu diadakan secara proporsional tertutup, KPU akan menghadapi beberapa kesulitan dalam menentukan alokasi kursi di lembaga legislatif. Penulis menjabarkan beberapa kemungkinan buruk ataupun kesulitan yang akan terjadi dalam sistem KPU ketika putusan MK diatas berlanjut.

Pertama, Keterbatasan Pilihan Pemilih: Dalam sistem proporsional tertutup, pemilih hanya memberikan suara untuk partai politik, bukan untuk kandidat individu. Hal ini berarti pemilih tidak memiliki pengaruh langsung dalam menentukan siapa yang akan mendapatkan kursi. KPU akan menghadapi kesulitan dalam memastikan bahwa preferensi pemilih tercermin dalam representasi yang adil, karena pemilih tidak dapat memilih kandidat individu yang mereka dukung.

Kedua, Ketergantungan pada Daftar Partai: Dalam sistem proporsional tertutup, partai politik menentukan daftar kandidat mereka, dan kursi akan diberikan berdasarkan perolehan suara partai secara keseluruhan. KPU harus mengandalkan daftar yang diajukan oleh partai politik tanpa campur tangan langsung dalam menentukan urutan atau kualifikasi kandidat. Hal ini dapat menghasilkan kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam proses penentuan calon legislatif.

Ketiga, Kekuatan Partai Politik: Dalam sistem proporsional tertutup, partai politik memiliki kendali yang lebih besar atas kandidat-kandidat yang akan mendapatkan kursi. Ini dapat mengakibatkan dominasi partai politik yang lebih kuat dalam mempengaruhi keputusan politik dan mengurangi keragaman pendapat di lembaga legislatif. KPU perlu memastikan bahwa tidak ada praktik nepotisme atau ketidakadilan dalam penentuan kandidat dari daftar partai politik.

Kemudian, kesulitan Perhitungan: Alokasi kursi berdasarkan sistem proporsional dapat melibatkan perhitungan yang kompleks, terutama dengan metode pembagian yang digunakan, seperti metode D’Hondt atau Sainte-Laguë. KPU harus memiliki sistem yang kuat dan efisien untuk menghitung perolehan suara dan mengalokasikan kursi dengan benar, yang dapat menjadi tugas yang rumit dan memakan waktu.

Terakhir, Kurangnya Keterlibatan Pemilih: Dalam sistem proporsional tertutup, pemilih tidak memiliki pengaruh langsung dalam menentukan kandidat individu yang akan mewakili mereka di lembaga legislatif. Hal ini dapat mengurangi rasa keterlibatan dan partisipasi pemilih dalam proses politik, karena mereka tidak dapat memilih secara langsung kandidat yang mereka anggap paling baik atau yang sesuai dengan pandangan mereka.

Kesulitan-kesulitan ini menunjukkan pentingnya mempertimbangkan implikasi yang mungkin terjadi dalam mengadopsi sistem proporsional tertutup dan penting bagi KPU untuk melakukan pemantauan dan pengawasan yang cermat guna memastikan integritas, transparansi, dan keadilan dalam proses pemilihan.

Penulis percaya bahwa jika ada perubahan dalam sistem pemilu, langkah yang lebih baik adalah melakukan reformasi dan penyesuaian terhadap lembaga penyelenggara pemilu, termasuk KPU.

Memperkuat KPU dengan keahlian dan sumber daya yang memadai, serta meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam proses pemilihan, adalah cara yang lebih konstruktif untuk memperbaiki sistem pemilu.

KPU memiliki peran penting dalam menjaga integritas dan independensi pemilu. Dengan melakukan perbaikan yang diperlukan, KPU dapat memastikan pemilu yang lebih demokratis dan representatif bagi seluruh rakyat, tanpa tergantung pada Mahkamah Konstitusi.

KPU harus berfokus pada peningkatan kapabilitas, transparansi, dan akuntabilitasnya sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan pemilu. Langkah-langkah yang dapat diambil antara lain adalah meningkatkan pengawasan terhadap proses pemilihan, memastikan keadilan dalam pemilihan, memberikan informasi yang jelas dan terbuka kepada publik, serta memperkuat mekanisme penyelesaian sengketa pemilu. Dengan melakukan perbaikan dan memperkuat peran KPU, kita dapat membangun sistem pemilu yang lebih kuat, demokratis, dan mampu mewakili suara rakyat secara adil, tanpa tergantung pada keputusan Mahkamah Konstitusi.

Penulis: Direktur Lembaga Pengkaji Peneliti Demokrasi Masyarakat (Direktur LSM LPPDM) NTT, Marsel Nagus Ahang.SH.