Praktisi Hukum Wawan Rosmawan.SH.MH.CLA.CTL.CPCLE.CPLC : Ciri-Ciri penggunaan Anggaran Desa yang tidak efektif dan transparan

Pekanbaru- Hingga akhir 2017 lalu sudah 900 kepala desa bermasalah dengan hukum karena masalah dana desa. Sebagian diantaranya terpaksa menghadapi jeruji besi akibat penyalahgunaan dana desa. Jumlah ini disinyalir bakal terus meningkat mengingat sulitnya mengawasi 74 ribu lebih desa di seluruh Indonesia.

Di lain sisi, masih banyak perangkat desa yang tidak memahami sistem pelaporan dana desa sesuai dengan aturan. “Dari jumlah itu diduga penyalahgunaan dana desa akibat korupsi adalah yang paling banyak terjadi, modus korupsi dana desa sebenarnya memiliki pola yang sama seperti pengadaan barang dan jasa yang tidak sesuai alias fiktif, mark up anggaran, tidak melibatkan masyarakat dalam musyawarah desa dan penyelewengan dana desa untuk kepentingan pribadi adalah beberapa pola yang banyak dilakukan.

Lemahnya pengawasan adalah salah satu penyebab suburnya korupsi dana desa. Pada 2019 lalu, diduga pemerintah diresahkan dengan adanya desa fiktif yang merugikan keuangan negara.

Diduga Ternyata banyak desa siluman alias desa yang mengajukan dana kepemerintah tetapi penggunaan dana tersebut tidak seperti yang ada dalam pengajuan. Bahkan juga ditemukan bahwa desa tersebut sebenarnya tidak ada, untuk menghindari adanya pembiayaan ke desa fiktif di tahun 2021 ini,

Wawan Rosmawan.SH.MH.CLA.CTL.CPCLE.CPLC saat di wawancarai melalui Via WhatsApp minggu 24 januari 2021 ia menuturkan untuk mengetahui ciri-ciri anggaran desa yang tidak efektif dan tidak transparan, Salah satunya adalah banyak kegiatan terlambat pelaksanaanya dari jadwal, padahal anggarannya sudah tersedia, Selain itu juga tidak adanya sosialisasi terkait kegiatan kepada masyarakat, ucapnya

Praktisi Hukum Wawan Rosmawan.SH.MH.CLA.CTL.CPCLE.CPLC, menambahkan bahwa Berikut ini ciri-ciri penggunaan anggaran desa yang tidak efektif dan tidak transparan:

  1. “Tidak ada papan proyek.
  2. “Laporan Realisasi sama persis dengan Rencana Anggaran Biaya (RAB).
  3. “Pengurus Lembaga Desa berasal dari keluarga Kades semua.
  4. “Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Mati Kiri alias pasif atau makan gaji buta.
  5. “Kepala Desa memegang semua uang, bendahara hanya berfungsi di bank saja.
  6. “Perangkat Desa yang jujur dan vocal biasanya ‘dipinggirkan’.
  7. “Banyak kegiatan terlambat pelaksanaanya dari jadwal, padahal anggarannya sudah tersedia.
  8. “Peserta Musyawarah desa hanya sedikit. Orang yang hadir dari tahun ke tahun hanya itu-itu saja.
  9. “Badan Usaha Milik desa (Bumdes) tidak berkembang.
  10. “Belanja barang atau jas di monopoli Kades.
  11. “Tidak ada sosialisasi terkait kegiatan kepada masyarakat.
  12. “Pemerintah desa marah ketika ada yang menanyakan anggaran kegiatan dan anggaran desa.
  13. “Kepala desa dan perangkat dalam waktu singkat, mampu membeli mobil dan membangun rumah dengan harga atau biaya ratusan juta. Padahal sumber penghasilan tidak sepadan dengan apa yang terlihat sebagai pendapatannya. ujar Wawan Rosmawan.SH.MH.CLA.CTL.CPCLE.CPLC, yang mana di ketahui beliau sudah memenangkan ratusan kasus di berbagai provinsi di indonesia ini. (*)