Ruteng – Lembaga Pengkaji Peneliti Demokrasi Masyarakat (LPPDM) memberikan edukasi kepada publik terkait perkembangan kasus dugaan suap jaksa yang menyeret nama Bupati Manggarai, Herybertus G.L. Nabit. Hal ini dilakukan mengingat banyaknya pemberitaan media yang cenderung menyerang Bupati, tanpa memahami prinsip dasar hukum pidana Indonesia.
Kejaksaan Tinggi (Kejati) Nusa Tenggara Timur telah melaporkan hasil pemeriksaan terhadap Bupati Nabit kepada Kejaksaan Agung (Kejagung) pada Senin, 24 November 2025. Laporan tersebut merupakan tindak lanjut dari pemeriksaan yang dilakukan pada 13 November 2025 di Kupang oleh Asisten Pengawasan Kejati NTT.
Ketua LPPDM, Marsel Ahang, menekankan pentingnya masyarakat memahami asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) dalam sistem peradilan pidana Indonesia. “Asas praduga tak bersalah adalah prinsip fundamental dalam hukum yang menyatakan bahwa setiap orang yang dituduh melakukan tindak pidana harus dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap,” jelas Marsel Ahang.
Ia menambahkan, asas ini diatur secara tegas dalam Penjelasan Umum KUHAP butir 3 huruf C dan Pasal 8 ayat (1) UU Kehakiman No. 48 Tahun 2009. “Artinya, sampai ada bukti yang sah dan meyakinkan yang menunjukkan sebaliknya dalam putusan pengadilan yang inkracht, seseorang tetap dianggap tidak bersalah,” tegasnya.
Sekretaris Jenderal LPPDM, Gregorius Antonius Bocok, menjelaskan bahwa proses hukum memiliki tingkatan yang harus dilalui sesuai prosedur. “Ketika Kejati NTT melaporkan hasil pemeriksaan ke Kejagung, ini adalah bagian normal dari mekanisme pengawasan internal kejaksaan. Namanya penanganan laporan, pasti harus dilanjutkan ke tingkat atas. Tidak mungkin didiamkan saja, Kejati harus lapor ke Kejagung,” ujar Gregorius.
Menurutnya, masyarakat perlu memahami bahwa proses hukum memiliki hierarki pengawasan. “Ini bukan berarti otomatis seseorang bersalah. Justru ini menunjukkan sistem hukum kita bekerja sesuai prosedur yang benar,” tambahnya.
Gregorius menjelaskan lebih lanjut tentang peran jaksa dalam sistem peradilan pidana Indonesia. “Berdasarkan UU No. 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, jaksa memiliki beberapa tugas dan kewenangan pokok,” ungkapnya.
Ia merinci, pertama, jaksa adalah satu-satunya lembaga yang berwenang melakukan penuntutan dalam perkara pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan. “Artinya, meskipun penyidikan dilakukan oleh kepolisian atau KPK, yang berwenang membawa perkara ke pengadilan adalah jaksa penuntut umum,” jelasnya.
Kedua, jaksa juga memiliki kewenangan dalam penyidikan tindak pidana tertentu, khususnya tindak pidana khusus seperti korupsi, sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d. “Dalam kasus ini, jaksa bisa melakukan penyidikan dari awal hingga akhir, tidak hanya menuntut,” tambah Gregorius.
Ketiga, jaksa memiliki peran pengawasan terhadap putusan pengadilan, termasuk kewenangan untuk melakukan upaya hukum seperti banding dan kasasi demi kepentingan hukum dan keadilan.
Anggota LPPDM, Adrianus Trisno Rahmat, menambahkan penjelasan tentang mekanisme pengawasan internal kejaksaan yang sering tidak dipahami publik. “Pasal 38 UU Kejaksaan mengatur tentang pengawasan terhadap jaksa. Ada dua jenis pengawasan: pengawasan melekat oleh atasan langsung dan pengawasan fungsional oleh unit pengawasan,” ujar Adrianus.
Ia menjelaskan bahwa Kejaksaan Agung memiliki Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan (Jampidsun) yang bertugas melakukan pengawasan internal terhadap kinerja dan perilaku jaksa di seluruh Indonesia. “Ketika ada laporan dugaan pelanggaran, mekanisme pengawasan ini akan bekerja sesuai hierarki: dari Kejari ke Kejati, kemudian ke Kejagung,” jelasnya.
“Dalam konteks kasus ini, pemeriksaan yang dilakukan oleh Kejati NTT terhadap Bupati Nabit adalah bagian dari kewenangan penyidikan jaksa dalam tindak pidana khusus. Laporan ke Kejagung merupakan mekanisme koordinasi dan pengawasan berjenjang yang memang diatur dalam sistem,” tambah Adrianus.
Adrianus mengimbau media dan masyarakat untuk lebih bijak dalam menyikapi perkembangan kasus hukum. “Kami melihat banyak pemberitaan yang seolah-olah sudah memvonis Bupati Nabit bersalah, padahal proses hukum masih berjalan. Ini berbahaya dan melanggar asas praduga tak bersalah,” ujar Adrianus.
Ia menjelaskan bahwa asas praduga tak bersalah memiliki dua tujuan utama. Pertama, memberikan perlindungan dan jaminan terhadap individu yang dituduh melakukan tindak pidana agar hak asasinya tetap terlindungi. Kedua, memberikan pedoman kepada aparat hukum sebagai alat pemerintahan untuk membatasi tindakannya dalam melakukan pemeriksaan.
“Media yang memberitakan seolah-olah sudah memvonis seseorang bersalah sebelum putusan pengadilan, sebenarnya turut melanggar martabat dan hak asasi manusia yang dijamin konstitusi,” tegas Adrianus.
Saat dihubungi media Selidikkasus, Bupati Hery Nabit memberikan tanggapan terkait pelaporkan hasil pemeriksaannya ke Kejagung. “Namanya penanganan laporan pasti harus diteruskan ke tingkat atas, tidak mungkin didiamkan saja. Kejati harus lapor ke Kejagung. Ini adalah prosedur normal,” ujar Bupati Nabit.
Ia menegaskan tidak memiliki kepentingan apapun dalam kasus pengadaan bawang merah tersebut.
LPPDM menekankan pentingnya edukasi hukum kepada masyarakat, terutama terkait proses peradilan pidana. “Proses hukum itu berjenjang: penyidikan, penuntutan, hingga pemeriksaan pengadilan. Dalam setiap tahap, asas praduga tak bersalah harus tetap dijunjung tinggi,” jelas Marsel Ahang.
Marsel menjelaskan tahapan proses peradilan pidana yang diatur dalam KUHAP. “Pertama adalah tahap penyelidikan dan penyidikan untuk mengumpulkan bukti. Jika ditemukan bukti permulaan yang cukup, maka dilakukan penetapan tersangka,” ujarnya.
“Tahap kedua adalah penuntutan, di mana jaksa mempelajari berkas perkara dan jika dianggap lengkap, akan melimpahkan ke pengadilan dengan surat dakwaan. Tahap ketiga adalah pemeriksaan di pengadilan, di mana hakim akan memeriksa bukti, mendengar keterangan saksi, ahli, dan terdakwa,” tambahnya.
“Baru setelah melalui proses persidangan yang fair dan pembuktian yang sah, hakim akan menjatuhkan putusan. Itupun masih bisa dilakukan upaya hukum banding dan kasasi. Seseorang baru bisa dinyatakan bersalah setelah putusan berkekuatan hukum tetap,” pungkas Marsel.
Gregorius Antonius Bocok menambahkan, “Yang berhak menyatakan seseorang bersalah hanyalah pengadilan melalui putusan yang berkekuatan hukum tetap. Bukan media, bukan aparat penegak hukum di tingkat penyidikan, dan bukan pula opini publik.”
Adrianus Trisno Rahmat menegaskan pentingnya memahami koordinasi antar lembaga dalam sistem peradilan pidana terpadu. “Pasal 1 ayat (1) KUHAP menyebutkan bahwa penyidik adalah pejabat polisi negara atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Jaksa adalah salah satu penyidik untuk tindak pidana tertentu,” jelasnya.
“Dalam praktiknya, koordinasi antara kejaksaan, kepolisian, dan lembaga lain seperti KPK sangat penting untuk memastikan penegakan hukum berjalan efektif namun tetap menghormati hak asasi tersangka atau terdakwa,” tambahnya.
Kasus ini bermula dari rekaman percakapan antara kontraktor Herman Ngana dan mantan PPK Gregorius L.A. Abdimun terkait proyek pengadaan benih bawang merah senilai Rp1,4 miliar tahun 2023. Dalam rekaman tersebut, disebutkan adanya dugaan aliran dana kepada sejumlah pihak untuk penerbitan SP3.
Kejati NTT telah memeriksa berbagai pihak, termasuk Bupati Nabit, sejumlah jaksa, pejabat dinas, dan kontraktor terkait. Hasil pemeriksaan tersebut kini telah dilaporkan ke Kejaksaan Agung untuk ditindaklanjuti sesuai prosedur.
LPPDM mengimbau seluruh pihak untuk menghormati proses hukum yang sedang berjalan dan tidak terburu-buru memberikan penilaian. “Mari kita biarkan proses hukum berjalan sesuai koridor yang benar. Asas praduga tak bersalah adalah hak konstitusional setiap warga negara yang harus dihormati,” tutup Marsel Ahang.
Ketiga perwakilan LPPDM juga menekankan pentingnya literasi hukum di kalangan masyarakat agar dapat memahami proses peradilan dengan benar dan tidak mudah terprovokasi oleh pemberitaan yang belum tentu sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku.
“Memahami peran dan kewenangan jaksa, mekanisme pengawasan internal, serta tahapan proses peradilan pidana akan membantu masyarakat untuk lebih bijak dalam menyikapi setiap perkembangan kasus hukum. Inilah esensi dari negara hukum yang beradab,” pungkas Gregorius Antonius Bocok.
*Penulis/Editor: by selidikkasus.com*