Labuan Bajo– Kisah asmara dua remaja, GN (18) asal Ndoso, Manggarai Barat, siswi SMK Sadar Wisata Ruteng, dan AA (20), asal Kecamatan Rana Mese, Kabupaten Manggarai Timur, justru berubah menjadi drama hukum yang berujung pidana. Hubungan yang sudah mereka jalani selama empat bulan, yang menurut AA didasari atas suka sama suka, mendadak berubah menjadi laporan dugaan tindak pidana persetubuhan terhadap anak.
Namun di balik laporan itu, tersimpan rangkaian peristiwa yang janggal. GN diduga menjebak pacarnya sendiri hingga akhirnya AA ditangkap polisi pada Mei 2025.
AA menceritakan awal hubungan mereka berjalan normal. Tidak ada masalah serius di antara keduanya. Bahkan sepeda motor dan handphone miliknya digunakan oleh GN selama mereka menjalin hubungan.
Ketegangan muncul ketika AA meminta kembali motor dan HP miliknya. Saat itu, menurut AA, GN justru melontarkan ancaman.
“Nanti saya laporkan kamu ke polisi.”
AA mengaku kaget. Namun yang membuatnya semakin tak menyangka adalah pesan dari GN.
“Kamu datang ambil motor sama HP kamu di Polres Manggarai Barat.”
Dengan niat baik dan tanpa curiga, AA mendatangi Polres Manggarai Barat menemui pacarnya GN untuk mengambil barang-barangnya. Namun, setibanya di Polres, ia justru langsung ditangkap oleh beberapa anggota polisi dan dimasukkan ke dalam sel tahanan dengan tuduhan melakukan persetubuhan terhadap anak.
Dalam keterangannya, AA mengaku mengalami perlakuan kasar saat pemeriksaan berlangsung.
“Saya dipukul di bagian mata dan kepala, lalu mereka memaksa saya untuk mengaku. Rambut saya juga dicukur,” ujar AA di RS Marombok, Rabu (19/11/2025).
Meski demikian, AA tetap bersikeras bahwa hubungan mereka dilakukan atas dasar suka sama suka.
“Kami pacaran empat bulan, dan hubungan yang kami lakukan berdasarkan suka sama suka,” jelas AA.
Namun penyidik Polres Manggarai Barat tetap melanjutkan proses hukum dengan sangkaan tindak pidana persetubuhan terhadap anak di bawah umur.
Menanggapi kasus ini, Marsel Ahang, SH, selaku Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Nusa Komodo Manggarai, meninjau dari aspek hukum terkait dugaan penyalahgunaan wewenang yang terjadi dalam proses penanganan kasus AA.
“Kami sangat prihatin dengan adanya dugaan kekerasan fisik yang dialami AA selama berada dalam proses penyidikan. Jika benar terjadi pemaksaan pengakuan disertai kekerasan, ini merupakan pelanggaran serius terhadap hak asasi tersangka dan bertentangan dengan Pasal 117 KUHAP yang melarang segala bentuk paksaan dalam pemeriksaan,” ujar Marsel Ahang kepada SelidikKasus.com, Kamis (20/11/2025).
Ahang juga mengkritisi modus penangkapan yang dinilai tidak sesuai prosedur hukum.
“Kasus ini menunjukkan indikasi kuat adanya penyalahgunaan wewenang sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Penangkapan yang dilakukan dengan cara menjebak tersangka untuk datang ke Polres dengan dalih mengambil barang miliknya, kemudian langsung ditahan, adalah modus yang tidak sesuai dengan prosedur hukum yang seharusnya,” ujar Ahang.
Menurutnya, jika memang ada laporan dan bukti yang cukup, seharusnya penangkapan dilakukan secara prosedural sesuai Pasal 18 KUHAP dengan surat perintah yang jelas dan bukan dengan cara yang terkesan menjebak.
“Ditambah lagi dengan adanya pengakuan tersangka soal kekerasan fisik saat pemeriksaan, ini semakin memperkuat dugaan bahwa ada penyalahgunaan wewenang yang harus diusut tuntas,” tegasnya.
Ahang juga menyoroti tindakan penjemputan AA dari rumah sakit dalam kondisi pasca operasi untuk menghadiri persidangan.
“Penjemputan tersangka yang masih dalam perawatan medis pasca operasi untuk menghadiri sidang merupakan tindakan yang tidak manusiawi dan bertentangan dengan Pasal 58 KUHAP yang menjamin hak tersangka untuk mendapat perawatan kesehatan. Ini juga melanggar Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 tentang hak atas pelayanan kesehatan,” jelasnya.
Lebih lanjut Ahang menambahkan, “Kondisi kesehatan tersangka harus menjadi prioritas utama. Jika kondisi medis tidak memungkinkan, sidang seharusnya ditunda atau dilakukan secara virtual, bukan memaksa tersangka hadir dalam kondisi sakit.”
Mengenai tidak diperkenankannya keluarga AA untuk menyaksikan persidangan, Ahang menilai hal ini bertentangan dengan prinsip peradilan yang terbuka untuk umum.
“Pasal 153 ayat (3) KUHAP secara tegas menyatakan bahwa sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali dalam perkara tertentu yang dinyatakan tertutup oleh hakim. Jika keluarga terdakwa tidak diperkenankan masuk sementara keluarga korban diperkenankan, ini menunjukkan adanya ketidakadilan dan diskriminasi dalam proses peradilan,” ujar Ahang.
Ia menambahkan, “Prinsip equality before the law dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 harus ditegakkan. Semua pihak berhak mendapatkan perlakuan yang sama di depan hukum. Penutupan akses bagi keluarga terdakwa tanpa alasan hukum yang jelas merupakan pelanggaran terhadap prinsip transparansi dan akuntabilitas peradilan.”
Saat berada di dalam sel tahanan, kondisi kesehatan AA menurun drastis. Ia kemudian dilarikan ke RS Komodo pada Minggu (15/11/2025) untuk menjalani pemeriksaan medis. Dari hasil pemeriksaan, AA dinyatakan mengalami usus turun dan langsung menjalani operasi pada Senin (16/11/2025) pagi.
AA ditempatkan di ruang perawatan RS Komodo dalam keadaan masih lemah pasca operasi.
Sehari pasca operasi, tepatnya pada Selasa (17/11/2025), pihak Kejaksaan Negeri Manggarai Barat mendatangi AA di RS Komodo dengan membawa mobil tahanan untuk menjemputnya mengikuti sidang putusan di Pengadilan Negeri Labuan Bajo, yang dijadwalkan berlangsung pada Rabu (19/11/2025).
Namun karena kondisi kesehatan AA yang belum stabil, memaksa jaksa membatalkan penjemputan dan kembali ke kantor kejaksaan.
Hingga Rabu (19/11/2025) sekitar pukul 19.30 malam, AA dijemput pihak kejaksaan untuk kembali ke sel tahanan meskipun dalam kondisi sakit pasca operasi.
Selama proses persidangan yang telah berjalan empat kali di Pengadilan Negeri Labuan Bajo, pihak keluarga AA tidak diperkenankan untuk menyaksikan sidang. Sementara orang tua GN diperkenankan masuk ke ruang sidang pengadilan.
Hal ini menimbulkan pertanyaan tersendiri mengenai transparansi dan keadilan dalam proses persidangan yang sedang berjalan.
“Ini adalah bentuk diskriminasi yang nyata dalam proses peradilan. Kami mendesak Pengadilan Negeri Labuan Bajo untuk menjelaskan dasar hukum pelarangan keluarga terdakwa menghadiri persidangan, karena ini bertentangan dengan asas peradilan yang terbuka dan fair trial,” tutup Ahang.
Penulis/Editor: by selidikkasus.com