
Terminal Kembur yang dibangun pada tahun 2013-2015 dengan anggaran Rp3,6 miliar kini terbengkalai tanpa fungsi. Ketika Kejaksaan Negeri Manggarai memulai penyidikan pada Februari 2021, target awalnya jelas dugaan korupsi dalam pembangunan fisik terminal. Namun, dalam perjalanannya terjadi pergeseran yang sangat mencurigakan. Fokus penyidikan yang seharusnya mengusut kualitas konstruksi, kemungkinan mark-up anggaran, dan pelaksanaan proyek justru dialihkan ke proses pengadaan tanah.
Pertanyaannya sederhana: mengapa terminal senilai miliaran rupiah yang tidak berfungsi tidak diselidiki aspek pembangunan fisiknya? Mengapa pihak yang mengerjakan konstruksi, kontraktor pelaksana, pengawas proyek, dan pejabat yang menandatangani serah terima pekerjaan tidak pernah diperiksa? Pergeseran ini bukan sekadar perubahan strategi penyidikan, melainkan pengkhianatan terhadap mandat penegakan hukum yang seharusnya mencari kebenaran materiil.
Yang lebih ironis, pihak yang akhirnya dijadikan tersangka adalah seorang petani pemilik tanah dan seorang pejabat teknis tingkat bawah. Keduanya didakwa melakukan korupsi dalam transaksi jual beli tanah yang tidak pernah dipermasalahkan sebelumnya karena tanah tersebut telah sah menjadi milik pemerintah. Sementara itu, pihak-pihak yang sesungguhnya bertanggung jawab atas terminal yang tidak berfungsi itu lolos tanpa sentuhan hukum sama sekali.
Dramaturgi Hukum yang Melelahkan
Petani pemilik tanah divonis dua tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor Kupang pada 29 Maret 2023, dengan denda Rp100 juta dan kewajiban membayar uang pengganti Rp402.245.455. Pejabat teknis divonis satu tahun enam bulan penjara dan denda Rp100 juta. Kedua vonis ini mengabaikan realitas bahwa transaksi tanah adat tanpa sertifikat adalah praktik yang wajar dan sah di masyarakat Manggarai.
Ketika keduanya mengajukan banding dengan harapan keadilan, Pengadilan Tinggi Kupang justru memperberat vonis. Petani tersebut dihukum empat tahun penjara dan denda Rp200 juta, sementara pejabat teknis divonis dua tahun penjara dan denda Rp100 juta. Pemberatan ini sangat tidak masuk akal seolah-olah semakin tinggi tingkat pengadilan, semakin jauh pula keadilan.
Untungnya, Mahkamah Agung pada 16 November 2023 membatalkan putusan terhadap petani tersebut. Namun, keadilan yang terlambat ini tidak dapat mengembalikan waktu, biaya, dan martabat yang telah hilang. Sementara pejabat teknis tetap harus menjalani hukuman karena kasasinya tidak diterima. Selama tiga tingkat pengadilan ini berlangsung, tidak satu pun pihak yang terlibat dalam pembangunan fisik terminal yang bermasalah itu diperiksa, apalagi diadili.
Manipulasi Asas Ne Bis In Idem: Tameng untuk Menutup Kasus
Dalam wawancara dengan media lokal pada September 2024, pejabat di Kejaksaan Negeri Manggarai menyatakan bahwa laporan baru terkait kasus Terminal Kembur bisa dihentikan karena alasan ne bis in idem. Pernyataan ini adalah puncak dari serangkaian manuver hukum yang mengabaikan keadilan substansial.
Asas ne bis in idem, yang diatur dalam Pasal 76 ayat (1) KUHP, melarang seseorang dituntut dua kali atas perbuatan yang sama yang telah mendapat putusan berkekuatan hukum tetap. Namun, asas ini memiliki tiga syarat yang sangat ketat: pertama, harus ada putusan positif yang memeriksa materi perkara secara substansial; kedua, putusan tersebut berkekuatan hukum tetap; ketiga, terdapat identitas pelaku, perbuatan, dan objek yang sama.
Dalam kasus Terminal Kembur, tidak satu pun dari syarat tersebut terpenuhi untuk menutup pengusutan dugaan korupsi pembangunan fisik. Yang telah diadili hanyalah perkara pengadaan tanah, bukan pembangunan fisik. Ini dua objek yang sama sekali berbeda. Pengadaan tanah adalah tahap persiapan proyek, sementara pembangunan fisik melibatkan proses tender, kontrak konstruksi, pelaksanaan pekerjaan, pengawasan, dan serah terima, semua ini adalah tahapan yang terpisah dengan potensi korupsi yang berbeda.
Lebih fundamental lagi, pelaku dalam dugaan korupsi pembangunan fisik sama sekali berbeda dengan dua orang yang telah diadili dalam kasus pengadaan tanah. Kontraktor, konsultan pengawas, pejabat pembuat komitmen, dan pihak-pihak lain yang terlibat dalam pembangunan fisik belum pernah tersentuh penyidikan. Dengan demikian, tidak ada identitas pelaku yang sama.
Dalih ne bis in idem yang dikemukakan Kejaksaan adalah manipulasi hukum yang sangat kasar. Ini seperti mengatakan bahwa karena seseorang telah diadili karena mencuri bahan bangunan, maka tidak boleh lagi mengadili orang lain yang melakukan korupsi dalam proyek pembangunan gedung. Dua perbuatan yang sama sekali berbeda, dua pelaku yang berbeda, tetapi ditutup dengan satu dalih yang keliru.
Pengkhianatan terhadap Mandat Konstitusiona
Penanganan kasus Terminal Kembur oleh Kejaksaan Negeri Manggarai adalah contoh sempurna dari kegagalan institusional yang multilapis. Pertama, Kejaksaan gagal menjalankan fungsi penyidikan dengan integritas. Alih-alih mencari kebenaran materiil tentang mengapa terminal senilai miliaran rupiah tidak berfungsi, Kejaksaan justru mengalihkan fokus ke transaksi tanah yang sesungguhnya bukan masalah substantif.
Kedua, Kejaksaan gagal melindungi keadilan bagi warga negara yang lemah. Seorang petani yang hanya menjual tanahnya kepada pemerintah dijadikan tersangka dan harus melalui proses hukum yang melelahkan, sementara pihak-pihak yang berkuasa dan diduga benar-benar melakukan korupsi dibiarkan bebas. Ini adalah bentuk penegakan hukum yang selektif (selective enforcement), di mana hukum hanya berani menyentuh yang lemah tetapi takut kepada yang kuat.
Ketiga, Kejaksaan gagal memenuhi janjinya sendiri kepada publik. Pada Oktober 2022, pejabat Kejaksaan Negeri Manggarai menyatakan tidak menutup kemungkinan untuk mengusut dugaan korupsi pembangunan fisik terminal. Namun hingga kini, lebih dari dua tahun kemudian, janji itu tidak pernah terealisasi. Sebaliknya, Kejaksaan kini justru menggunakan dalih ne bis in idem untuk menutup pintu penyidikan. Ini adalah pengkhianatan terhadap kepercayaan publik.
Keempat, Kejaksaan gagal memahami pluralisme hukum yang menjadi ciri sistem hukum Indonesia. Dakwaan terhadap petani yang menjual tanah adat tanpa sertifikat menunjukkan bahwa Kejaksaan tidak memahami atau tidak peduli terhadap realitas hukum adat yang hidup di masyarakat Manggarai. Pasal 5 UUPA mengakui hukum adat sebagai dasar hukum agraria nasional, namun dalam praktiknya, Kejaksaan justru mengkriminalisasi praktik hukum adat yang sah.
Kelima, Kejaksaan gagal menunjukkan independensi dan keberanian. Mengapa pihak-pihak yang terlibat dalam pembangunan fisik terminal tidak pernah diperiksa? Apakah mereka memiliki kekuasaan atau koneksi politik yang membuat Kejaksaan takut untuk menyentuh mereka? Pertanyaan ini menggantung dan semakin mengukuhkan persepsi publik bahwa Kejaksaan tidak independen dan mudah dipengaruhi oleh kekuasaan.
Krisis Kepercayaan terhadap Institusi Hukum
Kasus Terminal Kembur bukan hanya tentang sebuah proyek yang gagal atau dugaan korupsi di satu kabupaten. Ini adalah cermin dari krisis yang lebih besar dalam sistem penegakan hukum di Indonesia, khususnya di tingkat lokal. Ketika Kejaksaan dapat dengan mudah mengalihkan objek penyidikan dari pembangunan fisik ke pengadaan tanah, ketika aparat penegak hukum dapat menjadikan petani sebagai tersangka sementara membiarkan pihak yang berkuasa lolos, ketika janji-janji kepada publik dapat diabaikan tanpa konsekuensi, maka yang terjadi adalah runtuhnya kepercayaan publik terhadap institusi hukum.
Kepercayaan adalah modal sosial yang paling berharga bagi institusi penegak hukum. Tanpa kepercayaan publik, hukum hanya menjadi alat kekuasaan, bukan instrumen keadilan. Dan ketika kepercayaan itu runtuh, masyarakat tidak lagi melihat Kejaksaan sebagai pelindung keadilan, melainkan sebagai bagian dari masalah itu sendiri.
Terminal Kembur yang kini berdiri terbengkalai adalah monumen dari kegagalan ini. Setiap kali masyarakat melihat bangunan itu, mereka akan teringat bahwa ada miliaran rupiah uang rakyat yang terbuang sia-sia, dan tidak ada satu pun pejabat atau pelaksana proyek yang bertanggung jawab. Mereka akan teringat bahwa seorang petani sederhana dijadikan tersangka karena menjual tanahnya, sementara mereka yang benar-benar mengkorupsi proyek itu bebas berkeliaran. Dan mereka akan teringat bahwa Kejaksaan, institusi yang seharusnya menjadi benteng terakhir keadilan, justru menjadi bagian dari ketidakadilan itu.
Kasus Terminal Kembur adalah ujian bagi integritas sistem peradilan pidana kita. Jika Kejaksaan terus bersikeras dengan dalih ne bis in idem yang keliru, jika pihak-pihak yang diduga melakukan korupsi dalam pembangunan fisik terminal terus dibiarkan lolos, jika janji-janji kepada publik terus diabaikan, maka Terminal Kembur akan selamanya menjadi simbol impunitas bukti bahwa di negeri ini, yang kuat bisa lolos dari hukum sementara yang lemah menjadi korban.
Masyarakat Manggarai Timur, masyarakat NTT berhak mendapatkan keadilan. Mereka berhak mengetahui kemana uang rakyat senilai Rp3,6 miliar itu pergi dan mengapa terminal yang dibangun dengan uang itu kini terbengkalai. Mereka berhak melihat bahwa hukum di negeri ini tidak hanya berani menyentuh petani sederhana, tetapi juga berani menyentuh pejabat, kontraktor, dan siapa pun yang melakukan korupsi.
Penulis/Editor : Marsel Ahang