Pentingnya Psikologi Kepolisian untuk Menjaga Kesehatan Mental: Nyanyian Sunyi untuk Insiden Penganiyaan Anak Pitak

 

Kasus penganiyaan yang terjadi di Kabupaten Manggarai, kembali mengingatkan kita akan pentingnya psikologi kepolisian sebagai fondasi dalam menjaga kesehatan mental para penegak hukum. Insiden yang melibatkan empat anggota Polres Manggarai dan dua pegawai harian lepas terhadap seorang mahasiswa bernama Klaudius (23 tahun) pada 7 September 2025 lalu, menunjukkan betapa rapuhnya kontrol emosional dan mental sebagian personel kepolisian ketika dihadapkan pada situasi yang menantang. Kasus ini bukan sekadar pelanggaran hukum biasa, melainkan cerminan dari sistem yang gagal dalam membina kesehatan mental anggotanya.

Psikologi kepolisian memiliki peran fundamental dalam mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan yang berujung pada tindak kekerasan seperti yang dialami korban. Setiap anggota kepolisian dalam menjalankan tugasnya seringkali dihadapkan pada tekanan psikologis yang tinggi, mulai dari beban kerja yang berat, konfrontasi dengan pelaku kejahatan, hingga ekspektasi masyarakat yang tinggi terhadap profesionalisme mereka. Tanpa dukungan psikologi yang memadai, tekanan-tekanan ini dapat mengakibatkan distorsi dalam penilaian situasi, kehilangan empati, dan pada akhirnya memicu tindakan represif yang berlebihan seperti yang terjadi pada kasus penganiyaan mahasiswa tersebut.

Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia sebenarnya telah mengatur dengan tegas tentang standar perilaku yang harus dijunjung tinggi oleh setiap anggota Polri. Pasal 7 Kode Etik Profesi Polri menekankan bahwa anggota Polri harus bertindak jujur, tidak memihak, dan menghormati harkat dan martabat kemanusiaan. Namun, implementasi kode etik ini akan menjadi hampa apabila tidak didukung oleh pemahaman mendalam tentang aspek psikologis yang mempengaruhi perilaku setiap personel. Dalam konteks kasus penganiyayaan yang dialami Klaudius, tindakan kekerasan yang dilakukan oleh para tersangka jelas melanggar Pasal 8 yang mewajibkan anggota Polri untuk tidak melakukan perbuatan tercela yang dapat merusak kehormatan dan martabat Polri.

Pentingnya psikologi dalam kepolisian tidak hanya berkaitan dengan pencegahan tindakan represif, tetapi juga dengan peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat. Seorang polisi yang memiliki kesehatan mental yang baik akan mampu mengendalikan emosi, berpikir jernih dalam mengambil keputusan, dan menunjukkan empati kepada masyarakat yang dilayani. Sebaliknya, gangguan kesehatan mental dapat memicu perilaku agresif, paranoia, atau bahkan depresi yang berujung pada tindakan yang merugikan baik bagi diri sendiri maupun masyarakat. Studi menunjukkan bahwa profesi kepolisian memiliki tingkat stres dan risiko gangguan mental yang tinggi dibandingkan profesi lainnya, sehingga pendekatan psikologi menjadi sangat krusial dalam menjaga stabilitas emosional para penegak hukum.

Kasus penganiyaan ini seharusnya menjadi momentum bagi institusi kepolisian untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem pembinaan kesehatan mental anggotanya. Diperlukan program psikologi kepolisian yang komprehensif, mulai dari tahap rekrutmen dengan tes psikologi yang ketat, pelatihan manajemen stres secara berkala, konseling rutin bagi personel yang bertugas di wilayah dengan tingkat kriminalitas tinggi, hingga terapi trauma bagi anggota yang mengalami kejadian traumatis dalam tugas. Selain itu, perlu juga dibentuk unit psikolog khusus di setiap kesatuan yang bertugas memantau kondisi mental personel dan memberikan intervensi dini ketika ditemukan tanda-tanda gangguan psikologis.

Penegakan kode etik profesi polisi juga harus diperkuat dengan pendekatan yang tidak hanya bersifat punitif, tetapi juga rehabilitatif. Ketika seorang anggota melakukan pelanggaran seperti dalam kasus penganiyaan ini, selain dikenakan sanksi sesuai peraturan, mereka juga perlu mendapatkan evaluasi psikologis mendalam untuk memahami akar permasalahan yang memicu perilaku tersebut. Hal ini sejalan dengan prinsip keadilan restoratif yang tidak hanya fokus pada hukuman, tetapi juga pada pemulihan dan pencegahan berulangnya pelanggaran serupa.

Nyanyian sunyi dari korban penganiyaan di Pitak ini harus menjadi suara yang menggema bagi reformasi sistem kepolisian Indonesia. Kasus ini menunjukkan bahwa investasi pada psikologi kepolisian bukan sekadar kebutuhan tambahan, melainkan keharusan mendesak untuk menjamin bahwa kekuatan yang diberikan kepada polisi tidak disalahgunakan. Masyarakat berhak mendapatkan perlindungan dari aparatnya, bukan justru menjadi korban ketidakstabilan emosional mereka. Oleh karena itu, implementasi program psikologi kepolisian yang sistematis dan berkelanjutan menjadi kunci untuk membangun kepercayaan publik dan mewujudkan polisi yang benar-benar profesional, berintegritas, dan melayani masyarakat dengan sepenuh hati.

Kasus penganiyaan  salah satu karyawan yang bekerja di BRI Bali Denpasar ini bukan hanya soal pelanggaran hukum oleh oknum tertentu, tetapi merupakan indikasi sistem yang memerlukan perbaikan fundamental dalam hal pembinaan kesehatan mental personel. Psikologi kepolisian harus menjadi pilar utama dalam reformasi institusi kepolisian, tidak hanya untuk mencegah terjadinya pelanggaran serupa, tetapi juga untuk memastikan bahwa setiap anggota Polri mampu menjalankan tugasnya dengan profesional, berintegritas, dan tetap menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan. Hanya dengan pendekatan holistik yang mengintegrasikan aspek hukum, etika, dan psikologi, institusi kepolisian dapat memulihkan kepercayaan masyarakat dan menjalankan amanahnya sebagai pengayom masyarakat dengan sebaik-baiknya.

 

Penulis: Marsel Ahang, SH
Lawyer/Pengacara