SEBUAH REFLEKSI MASYARAKAT HUKUM ADAT : Masyarakat merupakan suatu bentuk kehidupan bersama

 

 

 

NTT – Menurut Soekanto (2001: 91) “Masyarakat merupakan suatu bentuk kehidupan bersama, yang warga-warganya hidup bersama untuk jangka waktu yang cukup lama, sehingga menghasilkan kebudayaan”. Masyarakat adat didefinisikan sebagai “Sebuah kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua warganya” (Hazairin, 1970:44).
Dari dua definisi mengenai “masyarakat” dan “masyarakat adat” terdapat sejumlah unsur yang harus dijustifikasi di lapangan (di antara masyarakat adat sendiri dan pihak-pihak terkait) yaitu: organisasi social beserta anggota-anggotanya yang berhubungan dengan sesamanya dalam menghasilkan kebudayaan, kesatuan hukum penguasa, lingkungan hidup, tanah dan air. Secara de facto kenyataan fisik ini dimiliki oleh setiap masyarakat (adat), tetapi pengakuan resmi terhadap keberadaan dan hak-hak mereka harus disahkan oleh Perda (aspek yuridis formil) tersendiri.
Pengakuan akan eksistensi masyarakat adat sebenarnya telah dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18, serta penjelasannya tentang “zelfbestuurende landschappen” (daerah-daerah swapraja) dan “volksgemeenschappen” (masyarakat adat); di mana negara berkewajban menghormati hak-hak usul daerah-daerah bersangkutan.
Amandemen UUD 1945 menempatkan isu mengenai masyarakat adat pada Pasal 18 B ayat 23 yang berhubungan dengan pemerintahan daerah; dan Pasal 28 ayat 3 mengenai Hak-Hak Asasi Manusia (HAM). Terdapat inkonsistensi dalam pengalimatan di sini sebab, Pasal 18 B mempergunakan istilah “masyarakat hukum adat dan Pasal 28 ayat 1 merujuk pada “masyarakat tradisional”; di mana kedua Pasal ini sesungguhnya merujuk kepada entitas yang sama yakni “masyarakat adat” (Masyarakat Adat dan Pengurangan Kemiskinan di Indonesia, 2001:20).
Definisi dan konsep tentang masyarakat adat sudah banyak dilakukan oleh berbagai pakar dan lembaga, seperti AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara). AMAN mendefinisikan masyarakat adat sebagai “Komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul secara turun temurun di atas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakatnya” (AMAN,2001:9).
Memiliki roh yang sama dengan definisi AMAN tentang masyarakat adat (Dahi dan Parrellada, 2001:10) mendefinisikan masyarakat adat sebagai “Kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur (secara turun temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistim nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri” Berdasarkan dua definisi tentang masyarakat adat di atas, terdapat sejumlah syarat penting untuk mengidentifikasikan keberadaan masyarakat adat dan hak-hak mereka.
Lape adalah nama dari sebuah suku di salah satu wilayah kabupaten Nagekeo-Flores-NTT tepatnya di folres bagian tengah laut flores yang kini menjadi tempat civil canter dari kabupaten Nagekeo, kata Lape mempunyai makna yang artinya “lapis-lapis” hal ini dibuktikan dari susunan sisila lape yang sudah mencapi 87 (delapan puluh tuju) keturunan sampai ke generasi sekarang ini.
Peran Masyarakat Adat sangat dibutuhkan untuk mendukung percepatan pembangunan kesejahteraan suatu daerah, masyarakat adat Lape (suku Lape) Dalam Pembangunan Kabupaten sangat berperan aktif dalam mendukung pembangunan kabupaten Nagekeo, hal ini dibuktikan dengan penyerahan lahan 60 Ha² untuk pembangunan kabupaten Nagekeo secara Cuma-Cuma.
Tanah adalah karunia dari Tuhan Yang Maha Esa kepada umat manusia. Tanah merupakan faktor yang paling utama dalam menentukan produksi setiap fase peradaban umat manusia. Di mana tanah menjadi kebutuhan dasar bagi manusia. Tanah bagi masyarakat Indonesia memiliki makna yang multidimensional. Pertama, dari sisi ekonomi tanah merupakan sarana produksi yang dapat mendatangkan kesejahteraan. Kedua, secara politis tanah dapat menentukan posisi seseorang dalam pengambilan keputusan masyarakat. Ketiga, sebagai budaya, dapat menentukan tinggi rendahnya status sosial pemiliknya. Keempat, tanah bermakna sakral karena berurusan dengan waris dan masalah-masalah transedental (Heru Nugroho, 2005 dalam Supriyanto, 2008:1).
Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960 dalam Pasal 5: Menyatakan bahwa, Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa, ialah hukum adat. Dan dalam pasal 17 adanya pengakuan sistim kepemilikan tanah secara bersama/komunal, namun pemberlakuan hukum adat tersebut sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan bangsa artinya, bila kepentingan bangsa menghendaki, hukum adat dapat saja dikalahkan.
Bagi masyarakat tanah dipandang sebagai harta kekayaan yang bersifat kekal karena tidak akan musnah dalam keadaan apapun, di samping itu tanah berfungsi sebagai tempat tinggal bagi warga masyarakat dan tempat mereka mencari kehidupan dan sebagai tempat nantinya di mana mereka akan dikuburkan kalau meninggal dunia. Oleh karena itu tanah adat erat kaitanya dengan kewenangan dari masyarakat adat itu sendiri untuk menguasai tanah adat (tanah ulayat) tersebut. Karena tanah memiliki makna yang multidimensional bagi kehidupan masyarakat khusus masyarakat agraris, maka setiap orang akan berusaha memiliki dan menguasainya. Maka tidak heran jika tanah menjadi harta yang istimewa dan tidak henti-hentinya memicu berbagai masalah sosial yang rumit dan kompleks.
Fenomena yang terjadi saat ini di masyarakat bahwa memang banyak terjadi masalah-masalah sosial seperti adanya sengketa tanah. Sengketa tanah ini terjadi dalam tiga golongan yaitu antara pemerintah, masyarakat, dan bisnis (pengusaha). Mereka memperebutkan sumber-sumber agraria yang dapat berupa lahan, bahan tambang, dan sumber air. Perebutan tersebut menampilkan isu-isu hak-hak masyarakat setempat terhadap sumber-sumber agraria berlawanan dengan hak-hak negara.
Hal ini tidaklah heran ada perlawan yang muncul di kalangan masyarakat adat, contoh konkrit masalah Gedung DPRD Nagekeo, dimana Konradus Ru Remi dan suku Lape melakukan Perlawanan Hukum yang mengakibatkan Gedung DPRD Nagekeo tidak berfungsi alias Mangkrak di tengah Civil Center Kabupaten Nagekeo.
Penyebab permasalahan tentang sengketa tanah tidak tuntas atau tidak terselesaikan di karenakan penanganan persoalan yang kurang tepat atau tidak tuntas pada masa yang lalu. Disamping kenaikan harga tanah yang meningkat menimbulkan banyak pihak mengklaim sebagai pemilik tanah walaupun tanpa didukung oleh bukti kepemilikan yang kuat dan jelas. Persoalan menjadi bertambah rumit bila ada campur tangan pihak ketiga yang tidak beritikad baik. Masalah akan sulit diselesaikan apabila para pihak merasa paling benar dan tidak mau bermusyawarah.
Sejak diberlakukannya UUPA tahun 1960 (LN 104 tahun 1960) seharusya problem pertanahan bisa dituntaskan, akan tetapi dalam kenyataannya menyisakan problem yang tidak sedikit harus dipecahkan pada masa sekarang, yakni pertama, masih cukup banyak unsur dari ketentuan UUPA 1960 sampai kini belum ada penjabaran yang jelas, misalnya: fungsi sosial hak milik atas tanah. Kedua, ada juga UU pokok lain, misalnya UU Pokok Kehutanan tahun No.41/1999 (LN. 167 tahun 1999), yang sempat membuka jalur HPH bagi perusahaan besar loging kayu hutan alami dimana jelas ada intervensi hukum oleh negara yang mirip pernyataan domein dari masa Hindia Belanda, atas lahan tak terpakai oleh penduduk pribumi (woestegronden) (Pelzer, 1991:10).
Oleh karena itu, dalam pandangan teori konflik melihat bahwa di dalam masyarakat tidak akan selamanya berada pada keteraturan. Buktinya dalam masyarakat manapun pasti pernah mengalami konflik-konflik atau ketegangan ketegangan. Kemudian teori konflik juga melihat adanya dominasi, koersi, dan kekuasaan dalam masyarakat. Teori konflik juga membicarakan mengenai otoritas yang berbeda-beda. Otoritas yang berbeda-beda ini menghasilkan superordinasi dan subordinasi. Perbedaan antara superordinasi dan subordinasi dapat menimbulkan konflik karena adanya perbedaan kepentingan (Wikipedia, 2015).
Dahrendorf mengatakan bahwa ada dasar baru bagi pembentukan klas, sebagai pengganti konsepsi pemilikan sarana produksi sebagai dasar perbedaan klas itu. Menurut Dahrendorf hubungan-hubungan kekuasaan yang menyangkut bawahan dan atasan menyediakan unsur bagi kelahiran klas. Klas yang dimaksud adalah klas yang berkuasa dan dikuasai. Dahrendorf menganggap bahwa pertentangan kelompok mungkin paling mudah dianalisis bila dilihat sebagai pertentangan mengenai legitimasi hubungan-hubungan kekuasaan (Wikipedia 2015).
Dahrendorf melihat bahwa terbentuknya klas sosial tidak selalu deterministik ekonomi, akan tetapi pada perkembangannya struktur politiklah (tentang kekuasaan) yang dominan membentuk klas sosial (yang berkuasa dan dikuasai).
Ketika satu kelompok berusaha mengendalikan kelompok lain dengan berbagai cara, selalu melibatkan kekuasaan dan wewenang, maka yang terjadi adalah dominasi kekuasaan yang dilakukan oleh satu kelompok terhadap kelompok lainnya. Kelompok yang menguasai disebut sebagai superordinat dan kelompok yang dikuasai sebagai subordinat. Dalam konflik agrarian hubungan antar orang atau kelompok yang terkait dengan masalah bumi dan segala kekayaan alam yang terdapat di atas permukaan maupun di dalam perut bumi terjadi karena adanya dominasi atas penguasaan tanah dan sumber-sumber agraria oleh kelompok superodinat yang menyebabkan kelompok subordinat terabaikan dari hak-haknya.
Masyarakat adat lape merupakan kelompok subordinat dimana suku lape mempunyai kontribusi yang cukup besar di kabupaten Nagekeo namun terabaikan hak-haknya, contoh konkrit jalan menuju kampung adat lape sampai kini tidak diperhatikan oleh pemerintahan kabupaten nagekeo. Akses jalan menuju kampung adat lape sangatlah penting untuk masyarakat adat lape melakukan serimonial adatnya sebagai wujud Dalam hubungannya dengan kepercayaan terhadap leluhur, masyarakat Lape masih sangat memegang kuat apa yang diajarkan leluhur pada mereka. Terutama hubungan manusia dengan alam, kepercayaan-kepercayaan yang mereka anut merupakan instrumen tangguh dalam menjaga keharmonisan hubungan manusia dengan alam.
Masyarakat Lape percaya alam dengan seluruh isinya adalah “milik para leluhur” yang senantiasa mengawasi mereka. Dengan pandangan seperti ini, keseimbangan yang secara alami terkandung di alam akan selalu terjaga, karena hal-hal yang merusak seperti eksploitasi yang berlebihan dan yang lainnya dapat terhindar oleh karena adanya kepercayaan bahwa manusia tidak memiliki hak untuk alamnya selain untuk kebutuhan dasar hidupnya.
Pada ahkir kata bahwa Sengketa tanah dapat terjadi akibat adanya keinginan untuk menguasai sumber daya tanah. Selain itu ada pihak-pihak yang ingin memanfaatkan tanah untuk kepentingan tertentu sehingga terjadilah Konflik agraria dan perebutan tanah adat, bahkan konflik agraria saat ini semakin massif dengan fenomena yang semakin menonjol adalah pengadaan tanah dalam skala besar untuk kepentingan proyek pembangunan pemerintah maupun proyek-proyek perusahaan swasta dalam rangka mengejar pertumbuhan ekonomi.
Pada akhirnya konflik agraria dan sengketa tanah adat merupakan sumber daya yang selalu mengorbankan rakyat secara terus menerus. Adapun bentuk perlawanan masyarakat yaitu dengan melakukan aksi-aksi yang bertahap untuk memperjuangkan kepentingan mereka dan komunitasnya. Ada beberapa cara atau taktik-taktik damai yang dilakukan oleh masyarakat setempat dalam menuntut haknya diantaranya seperti melobi pihak perusahan dan aparat pihak setempat dengan mengirimkan surat dan menemui langsung para pejabat yang bersangkutan.

 

(penulis adalah Ketua Komonitas Adat Lape dan calon DPRD Kab. Nagekeo Dapil