LPPDM NTT: Gubernur Laka Lena Tebang Pilih, Docking Kapal Ditindak Cepat Tapi Sempadan Pantai Dibiarkan

 

Labuan Bajo – Lembaga Pengkaji Peneliti Demokrasi Masyarakat (LPPDM) NTT menilai Gubernur Melkianus Laka Lena inkonsisten dan tebang pilih dalam penegakan aturan tata ruang di Labuan Bajo, Manggarai Barat.

Ketua LPPDM NTT, Marsel Ahang, S.H., mempertanyakan keseriusan pemerintah provinsi yang terkesan cepat menindak aktivitas docking kapal ilegal, namun lamban bahkan cenderung membiarkan pelanggaran sempadan pantai yang jauh lebih masif di kawasan strategis pariwisata tersebut.

“Aneh sekali, untuk docking kapal yang pelakunya mayoritas nelayan kecil dan pengusaha menengah, pemerintah langsung turun tangan dengan cepat. Tapi untuk pelanggaran sempadan pantai yang jelas-jelas dikuasai pihak-pihak tertentu, pemerintah seperti tutup mata dan tutup telinga. Ini namanya tebang pilih,” ujar Marsel Ahang saat dihubungi via telepon, Rabu (19/11).

Marsel Ahang bahkan mempertanyakan ada tidaknya dugaan penerimaan suap yang membuat pemerintah provinsi begitu lamban menindak pelanggaran sempadan pantai di Labuan Bajo.

“Kita patut menduga ada penerimaan suap atau setidaknya ada kepentingan tertentu yang membuat Gubernur Laka Lena begitu lambat, bahkan terkesan takut menindak pelanggaran sempadan pantai. Bagaimana mungkin pelanggaran yang sudah bertahun-tahun, yang melibatkan hotel-hotel besar, resort mewah, dibiarkan begitu saja? Sementara nelayan kecil langsung ditindak,” tegas Marsel.

Ia menambahkan, sikap pemerintah provinsi yang berbeda dalam menangani kasus docking kapal dan sempadan pantai menimbulkan kecurigaan publik.

“Kami sudah melaporkan 13 hotel dan resort yang melanggar sempadan pantai ke Polres Manggarai Barat pada April 2025 lalu. Kami juga telah melaporkan Bupati Manggarai Barat ke Polda NTT pada Juli 2025 terkait dugaan penyalahgunaan wewenang dalam penanganan sempadan pantai. Sekarang pertanyaannya, kenapa Gubernur tidak bertindak tegas? Apakah ada sesuatu yang ditutup-tutupi?” tanya Marsel.

LPPDM NTT sebelumnya telah melaporkan berbagai pelanggaran sempadan pantai di Labuan Bajo ke pihak kepolisian. Pada 15 April 2025, LPPDM melaporkan 13 resort dan hotel yang melanggar batas sempadan pantai ke Polres Manggarai Barat.

Hotel dan resort yang dilaporkan antara lain Atlantic Beach, The Jayakarta Suites, Sudamala Resort, Puri Sari Beach, Luwansa Beach Resort, Bintang Hotel, La Prima Hotel, Pelataran Komodo, Sylvia Resort, Komodo Ayana Resort, Wae Cicu Beach Inn, Hotel JW Marriott Labuan Bajo, dan Ta’atana Luxury Collection Resort Labuan Bajo.

Kemudian pada 2 Juli 2025, LPPDM juga melaporkan Bupati Manggarai Barat Edistasius Endi ke Polda NTT terkait dugaan penyalahgunaan wewenang dalam penerbitan SK denda administratif senilai Rp 34 miliar kepada 11 hotel di kawasan sempadan Pantai Pede dan Pantai Wae Cicu.

“Laporan-laporan ini menunjukkan keseriusan kami dalam mengawal supremasi hukum di Labuan Bajo. Tapi kami melihat pemerintah provinsi tidak serius. Malah terkesan melindungi para pelanggar,” ungkap Marsel.

Marsel menyoroti tindakan Dinas Kelautan dan Perikanan bersama Satpol PP yang memberikan surat peringatan kepada tujuh kapal dan nelayan yang melakukan aktivitas docking ilegal di tiga titik pantai: Wae Cicu Wae Rana, Binongko, dan Pantai Pede.

“Kami apresiasi kalau pemerintah tegas menegakkan aturan. Tapi pertanyaannya, kenapa untuk pelanggaran sempadan pantai yang sudah bertahun-tahun terjadi malah tidak ada tindakan serupa? Padahal dampaknya jauh lebih luas dan melibatkan kepentingan publik,” tegas Marsel.

Ia menjelaskan, sempadan pantai di Labuan Bajo saat ini banyak yang dikuasai secara ilegal oleh oknum-oknum tertentu untuk kepentingan komersial, mulai dari bangunan tempat usaha, resort, hingga fasilitas pribadi yang jelas melanggar ketentuan tata ruang.

“Sempadan pantai itu ruang milik negara, untuk akses publik dan pelestarian lingkungan. Tapi kenyataannya dikuasai segelintir orang, dipasang pagar, sehingga masyarakat umum tidak bisa akses pantai. Ini pelanggaran berat, tapi pemerintah diam saja,” ungkapnya.

LPPDM NTT menilai ada standar ganda dalam penegakan hukum tata ruang di Labuan Bajo. Pemerintah terlihat berani menindak pelaku kecil, namun takut menyentuh pelanggaran yang dilakukan pihak-pihak besar atau yang memiliki kedekatan dengan kekuasaan.

“Nelayan dan pengusaha kecil yang melakukan docking langsung diberi surat peringatan, bahkan diancam proses hukum. Tapi pengusaha-pengusaha besar yang mendirikan bangunan permanen di sempadan pantai, yang jelas-jelas melanggar Perda Nomor 4 Tahun 2024 tentang RTRW NTT, malah tidak tersentuh. Ini diskriminatif dan menunjukkan arogansi kekuasaan,” kritik Marsel.

Ia menambahkan, pelanggaran sempadan pantai tidak hanya soal tata ruang, tetapi juga berdampak pada kerusakan ekosistem pesisir, hilangnya akses publik ke pantai, dan mengancam keberlanjutan pariwisata Labuan Bajo.

“Kalau gubernur berani, tunjukkan keberanian yang sama untuk menindak semua pelanggaran tanpa pandang bulu. Jangan hanya pandai menindas yang kecil, tapi takut sama yang besar. Kalau memang tidak ada suap atau kepentingan terselubung, tunjukkan dengan tindakan nyata,” tegasnya.

Marsel juga menyoroti bahwa maraknya aktivitas docking ilegal sebenarnya akibat dari minimnya fasilitas yang disediakan pemerintah untuk nelayan dan pelaku usaha maritim.

“Pemerintah bilang docking harus di Tanjung Boleng, Kecamatan Boleng. Tapi apakah di sana fasilitasnya memadai? Apakah biayanya terjangkau untuk nelayan kecil? Kalau tidak ada solusi konkret, ya mereka akan cari alternatif sendiri,” jelasnya.

Ia menekankan bahwa penegakan hukum harus dibarengi dengan penyediaan solusi, bukan hanya intimidasi dan ancaman.

LPPDM NTT mendesak Gubernur Melkianus Laka Lena untuk bersikap konsisten dan adil dalam penegakan aturan tata ruang di Labuan Bajo.

“Kami tuntut gubernur untuk sama tegasnya menindak pelanggaran sempadan pantai seperti saat menindak aktivitas docking. Kalau perlu, bentuk tim terpadu khusus untuk membongkar semua bangunan ilegal di sempadan pantai tanpa kecuali. Tunjukkan bahwa tidak ada kepentingan pribadi atau suap yang menghalangi penegakan hukum,” tuntut Marsel.

Ia juga meminta pemerintah provinsi untuk transparan dalam mempublikasikan daftar pelanggaran sempadan pantai dan tindakan hukum yang telah atau akan dilakukan.

“Jangan main sembunyi-sembunyian. Publik berhak tahu siapa saja yang melanggar, di mana lokasinya, dan apa tindakan yang diambil pemerintah. Ini soal akuntabilitas dan transparansi. LPPDM akan terus mengawal kasus ini sampai tuntas, termasuk kemungkinan melaporkan Gubernur ke pihak berwenang jika terbukti ada indikasi penyalahgunaan wewenang atau penerimaan gratifikasi,” pungkasnya.

Labuan Bajo sebagai destinasi super prioritas pariwisata nasional dan pintu gerbang Taman Nasional Komodo seharusnya dikelola dengan tata ruang yang tertib dan berkelanjutan, bukan dibiarkan dikuasai kepentingan-kepentingan tertentu yang merusak lingkungan dan merugikan kepentingan umum.

 

Penulis/Editor: by selidikkasus.com