Kupang, 9 November 2025 – Ketua Lembaga Pengkaji Peneliti Demokrasi Masyarakat (LPPDM) NTT, Marsel Ahang SH, melontarkan kritik tajam terhadap kebijakan Kapolda NTT Irjen Pol Dr. Rudi Darmoko terkait operasi penyitaan minuman keras tradisional sopi. Ahang, yang juga seorang advokat, konsultan hukum, dan aktivis fenomenal di NTT, menilai Kapolda seharusnya lebih fokus menangani kasus-kasus korupsi ketimbang menghabiskan energi untuk operasi miras ilegal.
Marsel Ahang mempertanyakan sejumlah aspek fundamental dalam operasi yang telah menyita 9.610 liter atau sekitar 9,6 ton minuman keras tradisional sejak 1-3 November 2025 tersebut.
“Kapolda harus melihat dulu apakah minuman sopi yang merupakan minuman lokal masyarakat NTT tergolong miras dan apakah sudah diuji di laboratorium kadar alkoholnya,” tegas Ahang saat memberikan pernyataan kepada media, Minggu (9/11/2025).
Kritik Ahang menyoroti fakta bahwa sopi merupakan minuman khas masyarakat NTT yang telah menjadi bagian dari budaya dan tradisi setempat. Ia menilai tindakan penyitaan dan pemusnahan sopi tanpa uji laboratorium yang jelas merupakan langkah yang tidak komprehensif.
Pertentangan kebijakan antara Pemerintah Provinsi NTT dengan Polda NTT menjadi sorotan utama. Pemprov NTT di era Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat sebelumnya telah melegalkan minuman tradisional beralkohol sopi dengan nama “Sophia” pada 2019, hasil kolaborasi dengan Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang.
Sophia diproduksi dengan standar yang terukur, dengan kadar alkohol sekitar 40% dan telah melalui penelitian untuk menjamin kualitasnya. Legalisasi ini bertujuan untuk melestarikan budaya lokal sekaligus mengatur produksi agar tidak liar dan memiliki standar kesehatan yang jelas.
“Jika pemprov NTT sudah melegalkan sopi dengan izin resmi, lalu kenapa Kapolda tidak mengajukan ke pemprov untuk mencabut izinnya. Ini yang tidak konsisten,” ujar Ahang.
Gubernur NTT Emanuel Melkiades Laka Lena yang dilantik pada Februari 2025, sampai saat ini belum mengeluarkan pernyataan resmi terkait polemik penyitaan sopi versus legalisasi Sophia yang telah dikeluarkan pemerintahan sebelumnya.
Ahang mempertanyakan mengapa operasi hanya menyasar sopi produksi lokal, sementara minuman keras berlabel (red label) dan merek-merek lain yang juga beredar justru tidak mendapat perhatian serius.
“Kenapa minuman ilegal lain berupa red label bisa masuk di NTT tapi Kapolda tidak operasi soal peredarannya. Ini diskriminatif,” tandas Ahang.
Data Polda NTT mencatat, dari operasi tersebut selain ribuan liter sopi, moke, dan peneraci (peci), petugas hanya menyita 53 botol minuman keras berlabel berbagai merek. Angka ini dinilai tidak sebanding dengan peredaran miras berlabel yang diduga jauh lebih masif.
Ahang juga menyoroti dampak sosial-ekonomi dari operasi tersebut. Menurutnya, sopi bukan sekadar minuman keras, melainkan sumber penghidupan bagi ribuan keluarga di NTT.
“Minuman sopi adalah minuman khas orang NTT. Masyarakat NTT yang menjual sopi bertujuan untuk membiayai kehidupan keluarga dan biaya kuliah anak-anak mereka ke perguruan tinggi,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa banyak keluarga petani lontar yang menggantungkan hidupnya dari produksi dan penjualan sopi. Operasi yang masif tanpa solusi alternatif dinilai dapat mematikan sumber pendapatan masyarakat kecil.
Kritik paling mendasar yang dilontarkan LPPDM adalah mengenai prosedur pengujian kadar alkohol. Ahang mempertanyakan apakah semua sopi yang disita di seluruh wilayah polres di NTT telah diuji kadar alkoholnya bersama Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Menurut standar yang berlaku, pengukuran kadar alkohol dalam minuman harus dilakukan melalui prosedur laboratorium yang terstandar. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No.86/1977, minuman beralkohol dibedakan menjadi 3 golongan:
1. Golongan A:Kadar alkohol 1-5% (contoh: bir)
2. Golongan B: Kadar alkohol 5-20% (contoh: anggur)
3. Golongan C: Kadar alkohol 20-55% (contoh: wiski, brendi)
Metode pengukuran yang direkomendasikan Standar Nasional Indonesia (SNI 01-2891-1992) adalah:
1. Destilasi: Sampel minuman didestilasi untuk memisahkan alkohol dari air dan komponen lainnya
2. Pengukuran Berat Jenis: Menggunakan piknometer, dengan membandingkan volume sulingan dengan air pada suhu 20°C
3. Konversi: Hasil berat jenis dikonversi menjadi kadar alkohol menggunakan tabel standar
Alternatif metode lain yang dapat digunakan adalah:
1. Kromatografi Gas (GC) untuk pengukuran lebih akurat
2. Spektrofotometri UV-Vis
3. Sensor berbasis teknologi (MQ-3, TGS2620) untuk deteksi cepat di lapangan
“Apakah miras berupa sopi yang disita dan dimusnahkan di seluruh wilayah polres di NTT sudah diuji kadar alkoholnya bersama BPOM. Kalau belum, bagaimana bisa dinyatakan ilegal” ungkap Ahang.
Ia menekankan bahwa tanpa uji laboratorium yang jelas, penyitaan tersebut tidak memiliki dasar ilmiah yang kuat dan berpotensi melanggar prosedur hukum yang seharusnya ditempuh.
Ketua LPPDM NTT ini juga menuntut keseriusan dan konsistensi jika Kapolda memang ingin membasmi peredaran sopi secara total.
“Kalau Kapolda serius menangani untuk membasmi minuman miras berupa sopi, harus total bekerja. Tapi ingat, sopi yang sudah ada izinnya juga perlu Kapolda ajukan ke Pemprov NTT untuk dicabut soal izinnya. Jangan setengah-setengah,” tegasnya.
Ahang menekankan bahwa penegakan hukum harus konsisten dan tidak diskriminatif. Jika memang sopi dianggap berbahaya dan harus dibasmi, maka semua bentuk sopi termasuk yang berizin harus ditangani dengan prosedur yang sama.
Yang paling mendasar dari kritik LPPDM adalah soal prioritas penegakan hukum. Ahang menilai di NTT masih banyak kasus korupsi yang belum tuntas dan seharusnya menjadi fokus utama kepolisian.
“Lebih baik Kapolda fokus dengan penanganan kasus korupsi ketimbang miras ilegal. Korupsi merugikan negara trilyunan rupiah, sementara sopi adalah bagian dari budaya dan penghidupan rakyat kecil,” ujar Ahang.
Kasus ini kembali membuka dilema klasik antara pelestarian budaya lokal dengan penegakan hukum. Sopi telah menjadi bagian integral dari tradisi masyarakat NTT selama berabad-abad, digunakan dalam berbagai upacara adat, pernikahan, kematian, hingga kegiatan sosial sehari-hari.
Di sisi lain, penyalahgunaan minuman beralkohol memang kerap menjadi pemicu gangguan ketertiban umum dan kriminalitas. Data Polda NTT menyebutkan minuman keras ilegal kerap menjadi faktor utama gangguan kamtibmas di provinsi berbasis kepulauan ini.
Pertanyaan yang kini mengemuka: bagaimana menemukan formula tepat yang dapat menjaga tradisi dan budaya lokal, melindungi ekonomi masyarakat kecil, sekaligus menjaga ketertiban umum dan mencegah penyalahgunaan alkohol.
Penulis/Editor : by selidikkasus.com