
Manggarai – Sejumlah kepala sekolah yang mengelola dana revitalisasi mendatangi Kantor Kejaksaan Negeri Manggarai pada Kamis, 2 Oktober 2025. Kunjungan tersebut terkait permohonan pendampingan hukum dalam pengelolaan program revitalisasi beberapa sekolah di Manggarai Timur yang bersumber dari APBN 2025.
Saat dihubungi oleh tim selidikkasus, Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Manggarai mengkonfirmasi kegiatan tersebut. “Benar, tadi ada kegiatan pemaparan permohonan pendampingan hukum terkait dengan revitalisasi beberapa sekolah di Manggarai Timur oleh Dinas PPO bersama dengan Kepala Sekolah dan Tim Teknis. Permohonan tersebut masih kami pelajari apakah layak atau tidak untuk diberikan pendampingan hukum,” jelasnya.
Program Revitalisasi Satuan Pendidikan ini merupakan inisiatif dari Kemendikbud Ristek dengan alokasi anggaran dari APBN 2025. Di Manggarai Timur sendiri, 22 sekolah menerima dana revitalisasi pendidikan senilai Rp43,2 miliar dari APBN 2025. Dana sebesar ini tentu memerlukan pengelolaan yang akuntabel dan transparan.
Menanggapi rencana pendampingan tersebut, Ketua Lembaga Pengkaji Peneliti Demokrasi Manggarai (LPPDM), Marsel Ahang, memberikan pandangan kritis dan meminta Kejaksaan Negeri Manggarai menolak permohonan tersebut. Menurut Marsel, sebaiknya para pengelola proyek dibiarkan bekerja secara mandiri tanpa pendampingan dari Kejaksaan. “Biarkan mereka bekerja mandiri karena kalau Jaksa yang mendampingi pasti mereka tidak takut mengelola dana tersebut. Karena pengalaman selama ini banyak pendampingan proyek oleh Kejaksaan Negeri Manggarai tetap saja pelaku pengelola proyek dijerat hukum,” ungkap Marsel.
LPPDM menilai pendampingan hukum oleh Kejaksaan justru berpotensi membuka celah korupsi yang lebih besar. Marsel menekankan bahwa meskipun secara hukum Jaksa memiliki kewenangan untuk melakukan pendampingan berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, khususnya dalam bidang perdata dan tata usaha negara serta memberikan pertimbangan hukum kepada instansi pemerintah, namun praktik ini menimbulkan problematika serius.
“Pendampingan oleh Jaksa menciptakan konflik kepentingan yang nyata. Jaksa adalah penegak hukum yang bertugas menuntut tindak pidana termasuk korupsi. Bagaimana mungkin Jaksa bisa objektif menuntut proyek yang pernah mereka dampingi jika terjadi penyimpangan” tegas Marsel.
LPPDM juga menyoroti fenomena moral hazard yang ditimbulkan dari pendampingan ini. Ketika pengelola proyek merasa “aman” karena didampingi Jaksa, mereka cenderung kurang hati-hati dan justru membuka peluang korupsi. Faktanya, banyak kasus proyek yang didampingi Jaksa tetap berujung pada penyidikan dan penuntutan, membuktikan bahwa pendampingan tidak menjamin pengelola bebas dari jeratan hukum.
“Pendampingan ini mencampuradukkan fungsi preventif dan represif yang seharusnya dipisah untuk menjaga independensi penegakan hukum. Peluang korupsi yang mungkin timbul dari pendampingan ini sangat besar,” tambah Marsel.
LPPDM merekomendasikan agar pengawasan pengelolaan dana revitalisasi sebesar Rp43,2 miliar tersebut dilakukan oleh lembaga yang memang memiliki fungsi pengawasan, seperti Inspektorat Daerah, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), atau Aparat Pengawasan Internal dari masing-masing instansi. Dengan demikian, Kejaksaan tetap independen sebagai penegak hukum jika terjadi penyimpangan.
“Kami minta Kejaksaan Negeri Manggarai untuk menolak permohonan pendampingan tersebut demi mencegah penyalahgunaan dana negara dan menjaga integritas sistem penegakan hukum,” pungkas Marsel Ahang.
Penulis/Editor : by selidikkasus