Sekjen LPPDM Desak Kapolda NTT Percepat Penanganan Kasus Korupsi Denda Sempadan Pantai Labuan Bajo

 

 

Ruteng – Sekretaris Jenderal Lembaga Pengkaji Peneliti Demokrasi Masyarakat (LPPDM), Gregorius Antonius Bocok, S.H., mendesak Kapolda Nusa Tenggara Timur untuk segera mempercepat penanganan kasus dugaan tindak pidana korupsi penyalahgunaan wewenang dalam penetapan denda sempadan pantai di Labuan Bajo. Desakan ini disampaikan menyusul telah terbitnya Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) yang menandakan penyidikan telah memasuki tahap lanjutan.

Dalam pernyataannya hari ini, Bocok mempertanyakan komitmen dan keseriusan Kapolda NTT dalam menuntaskan kasus yang telah berjalan berbulan-bulan ini. “Kami melihat adanya kelambatan yang tidak wajar dalam proses penyidikan. SP2HP sudah terbit, namun belum ada tindakan konkret dari Kapolda untuk mempercepat penetapan tersangka,” tegas Bocok.

Kasus ini berawal dari dugaan penyalahgunaan wewenang dalam pengenaan sanksi denda terhadap 11 hotel berbintang yang melanggar ketentuan sempadan pantai di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat. LPPDM menduga adanya praktik tidak wajar dalam proses penetapan dan pemungutan denda.

Berdasarkan Surat Keputusan Bupati Manggarai Barat Nomor 277/KEP/HK/2021 tentang Penetapan Sanksi Administratif, hotel dengan denda terbesar adalah Ayana Komodo Resort (Rp18.800.587.055), La Prima Hotel (Rp5.825.800.079), Silvya Resort Komodo (Rp3.406.836.728), Plataran Komodo Wae Cicu (Rp1.560.213.156), Bintang Flores (Rp1.181.393.598), dan Sudamala Resort (Rp1.150.992.808).

Hotel lainnya yang terkena sanksi meliputi Waecicu Beach Inn (Rp907.987.813), Jayakarta Suites (Rp347.601.745), serta Puri Sari Beach, Luwansa Beach Resort, dan Atlantis Beach Club dengan nominal denda miliaran rupiah.

Yang membuat kasus ini semakin kompleks, dua hotel dengan denda terbesar – Ayana Komodo Resort dan Sylvia Resort Komodo – justru memenangkan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Kupang. Keduanya berhasil membatalkan Surat Keputusan Bupati Manggarai Barat melalui perkara Nomor 13/G/2022/PTUN.KPG dan 14/G/2022/PTUN.KPG.

Kemenangan ini membebaskan kedua hotel dari kewajiban membayar denda lebih dari Rp22 miliar atau sekitar 65% dari total denda yang ditetapkan. Kondisi paradoks ini justru memperkuat dugaan penyalahgunaan wewenang yang harus didalami Kapolda NTT.

“Bagaimana bisa pejabat yang berwenang menerbitkan SK tanpa dasar hukum memadai sampai dibatalkan PTUN. Ini yang harus segera diungkap oleh penyidik di bawah komando Kapolda NTT,” tegas Bocok.

Sekjen LPPDM secara khusus menuntut, pertama segera menetapkan tersangka yang terlibat dalam dugaan penyalahgunaan wewenang penetapan denda sempadan pantai. “SP2HP sudah terbit, seharusnya Kapolda bisa segera menentukan siapa yang harus bertanggung jawab atas kerugian negara ini,” ujar Bocok.

Kedua, melakukan pemeriksaan komprehensif terhadap seluruh proses pengenaan denda, termasuk mengapa penetapan sanksi administratif cacat hukum hingga dibatalkan pengadilan.

Ketiga, memberikan update berkala kepada publik mengenai perkembangan penyidikan sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas Polda NTT.

Keempat, tidak hanya meneliti dugaan korupsi dalam pemungutan denda, tetapi juga mengkaji proses penetapan sanksi yang bermasalah.

Bocok menegaskan bahwa pihaknya akan terus mengawal kasus ini hingga tuntas karena kawasan Labuan Bajo merupakan aset strategis bangsa. “Tidak boleh ada praktik korupsi yang merusak tata kelola pariwisata berkelanjutan di destinasi super prioritas ini. Kami menilai Kapolda NTT harus lebih tegas dan cepat dalam menangani kasus ini,” tegasnya.

Pelanggaran sempadan pantai terjadi di dua lokasi strategis – tujuh hotel di sepanjang Pantai Pede dan empat hotel di sepanjang Pantai Wae Cicu. Hotel-hotel tersebut dinilai telah membangun fasilitas yang menghalangi akses publik ke pantai, sehingga memprivatisasi area yang seharusnya menjadi hak publik.

 

Penulis/Editor: Marsel Ahang