Putusan MK No 132/PUU-XXIII/2025 Harus Ditindaklanjuti Dengan Perubahan UU No 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial UU 2/2004

 

Disampaikan oleh Pengamat Hukum Ketenagakerjaan, Johan Imanuel di Jakarta. Menanggapi Putusan MK No 132/PUU-XXIII/2025 dengan Amar yang menyatakan Putusan 82 telah dimaknai terakhir oleh Putusan MK No 94/PUU-XXI/2023 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia sepanjang tidak dimaknai “Gugatan oleh pekerja / buruh atas pemutusan hubungan kerja dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 1 (satu) tahun sejak tidak tercapainya kesepakatan perundingan mediasi atau konsiliasi”, sebaiknya Pemerintah/DPR RI sebagai pembentuk undang-undang harus segera melakukan perubahan UU 2/2004.

” Jadi Putusan MK ini final dan mengikat sehingga wajib Ditindaklanjuti oleh Pemerintah / DPR RI sebagaimana Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundungan”.

Apa akibatnya jika tidak ditindaklanjuti? Johan mengungkapkan dalam perselisihan di Pengadilan Hubungan Industrial, Majelis Hakim seringkali tidak merujuk Putusan MK.

“Banyak Putusan PHI perselisihan hubungan tidak mempertimbangkan Putusan MK melainkan rigid dengan pertimbangan peraturan -perundangan yang sudah diundangkan” ungkap Johan.

“Johan juga menyarankan Pemerintah/ DPR RI segera mengubah Pasal 82 UU 2/2004 dengan jelas agar tidak membingungkan kalah pekerja dan pengusaha. Namun demikian dengan hadirnya Putusan MK No 132/PUU-XXIII/2025, maka Putusan MK tersebut tidak berlaku surut” tambah Johan.

” Tidak berlaku surut artinya terhadap Gugatan oleh pekerja / buruh atas pemutusan hubungan kerja dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 1 (satu) tahun sejak tidak tercapainya kesepakatan perundingan mediasi atau konsiliasi untuk Gugatan setelah tanggalnya Putusan MK tersebut (17 September 2025)”. tutup Johan

Salam Hormat,

Johan Imanuel