Kasus Gangguan Mental di Manggarai Mencapai 892 Jiwa, Fasilitas Rehabilitasi

 

Ruteng – Data terbaru menunjukkan fenomena mengkhawatirkan di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur, dimana penderita gangguan mental terus bertambah setiap tahunnya dengan proyeksi kenaikan 100-150 kasus baru.

Per Juni 2025, tercatat 892 individu mengalami gangguan mental di kawasan tersebut berdasarkan pendataan dari 25 unit pelayanan kesehatan tingkat pertama.

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Manggarai, drg. Bertholomeus Hermopan memaparkan, distribusi penderita gangguan mental menunjukkan perbedaan yang mencolok antar wilayah pelayanan.

“Perkiraan penambahan sekitar 100 hingga 150 individu setiap periode,” jelasnya pada Sabtu, 23 Agustus 2025.

Data menunjukkan Puskesmas Cancar memiliki angka tertinggi dengan 77 penderita, disusul Puskesmas Beamese dan Dintor masing-masing 56 kasus.

Wilayah Puskesmas Lao mencatat 53 kasus, Puskesmas Wangko 52 kasus, dan Puskesmas Timung 48 kasus.

Area lainnya seperti Puskesmas Reo melaporkan 47 kasus, Puskesmas Wae Codi 46 kasus, serta Puskesmas Bangka Kenda 45 kasus.

Untuk wilayah dengan jumlah sedang, Puskesmas Nanu memiliki 38 kasus, Puskesmas Wae Mbeleng 35 kasus, sementara Puskesmas Narang, Iteng, Langke Majok, dan Ketang masing-masing 30 kasus.

Selanjutnya, Puskesmas Pagal tercatat 26 kasus, Puskesmas Watu Alo 23 kasus, dan Puskesmas Langgo di Satarmese 17 kasus.

Wilayah dengan angka terendah adalah Puskesmas Anam dan Loce dengan 13 kasus masing-masing, Puskesmas Lemarang 11 kasus, dan Puskesmas Wae Kajong hanya 9 kasus.

drg. Bertholomeus mengakui keterbatasan penanganan saat ini yang masih terfokus pada pemberian medikasi akibat belum tersedianya fasilitas rehabilitasi memadai dan tenaga spesialis kejiwaan.

“Pemerintah saat ini hanya mampu memberikan bantuan melalui pendekatan medis, penanganan komprehensif masih menjadi hambatan utama,” terang drg. Bertholomeus.

Dalam kesempatan terpisah, Wakil Ketua Gereja Ruteng, RD. Dyonysius menekankan bahwa pelayanan rohani tidak hanya diperuntukkan bagi jemaat yang sehat fisik dan mental, namun juga mereka yang menderita berbagai penyakit termasuk gangguan kejiwaan.

Jemaat penyandang gangguan mental, menurut RD. Dyonsius, adalah bagian integral dari komunitas gereja yang berhak mendapat pelayanan sakramen dan bimbingan rohani yang setara.

“Harapannya gereja dan para klerus dapat merancang metode pelayanan yang lebih komprehensif, berperikemanusiaan dan terbuka untuk penderita gangguan mental,” ungkapnya.

Kondisi ini menunjukkan perlunya perhatian serius dari berbagai pihak dalam menangani permasalahan kesehatan mental di Kabupaten Manggarai, mengingat terbatasnya fasilitas rehabilitasi yang hanya mampu menampung sebagian kecil dari total penderita.

Penulis/Editor :MA