
Muara Enim selidikkasus.com Rabu 16 April 2025
Dalam negara demokrasi, kedaulatan ada di tangan rakyat. Prinsip ini tidak hanya berlaku di tingkat nasional atau provinsi, tetapi juga hingga ke akar rumput, desa. Sebagai unit pemerintahan terdekat dengan masyarakat, desa memegang peran penting dalam pembangunan dan pelayanan publik. Namun ironisnya, di tengah meningkatnya anggaran dana desa dari tahun ke tahun, transparansi masih menjadi tantangan besar.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) secara eksplisit menyebut bahwa badan publik, termasuk pemerintah desa, wajib menyediakan informasi yang dibutuhkan masyarakat. Mulai dari rencana pembangunan, realisasi anggaran, hingga laporan pertanggung jawaban. Namun dalam praktiknya, banyak desa yang belum sepenuhnya menjalankan amanat tersebut.
Papan pengumuman dana desa yang hanya terpajang saat ada audit, laporan keuangan yang tak mudah diakses, hingga proyek pembangunan yang tidak diketahui publik—semuanya menjadi gambaran minimnya transparansi di sejumlah wilayah. Celakanya, warga yang mencoba bertanya atau mengkritisi kebijakan desa kerap mendapat stigma negatif. Ada yang dianggap sebagai provokator, bahkan tak jarang mengalami intimidasi.
Kondisi ini menunjukkan bahwa masih ada kekeliruan cara pandang, baik dari pemerintah desa maupun masyarakat. Pemerintah desa kadang merasa bahwa mereka adalah penguasa anggaran, bukan pengelola yang harus bertanggung jawab kepada rakyat. Sementara masyarakat belum sepenuhnya sadar bahwa mereka punya hak untuk tahu, hak untuk bertanya, dan hak untuk mengawasi.
Padahal, anggaran desa adalah uang publik. Setiap rupiah yang masuk ke kas desa bersumber dari pajak yang dibayar rakyat. Maka, menjadi logis bila rakyat ingin tahu ke mana uang itu digunakan. Ini bukan soal curiga, tetapi soal tanggung jawab dan partisipasi. Masyarakat yang aktif dan kritis bukan ancaman, melainkan mitra dalam pembangunan.
Sudah saatnya pola pikir ini diubah. Transparansi bukan pilihan, tapi kewajiban. Pemerintah desa harus mulai membangun budaya keterbukaan: memasang papan informasi anggaran secara berkala, menyelenggarakan musyawarah desa yang benar-benar partisipatif, dan menyediakan saluran pengaduan yang mudah diakses.
Di sisi lain, masyarakat juga perlu diberdayakan. Edukasi mengenai hak-hak informasi harus dilakukan secara masif. Warga perlu didorong untuk aktif dalam forum desa, memantau proyek pembangunan, dan berani menyuarakan aspirasi tanpa rasa takut. Kritik yang membangun harus dipandang sebagai bentuk cinta terhadap desa, bukan ancaman.
Peran media dalam hal ini sangat penting. Pers bukan hanya sebagai penyampai informasi, tetapi juga sebagai alat kontrolsosial. memperkuat transparansi, dan mendorong tumbuhnya partisipasi warga.
Dengan transparansi, kepercayaan publik akan meningkat. Dengan partisipasi warga, kualitas kebijakan desa akan membaik. Dan pada akhirnya, desa akan menjadi ruang hidup yang demokratis, adil, dan sejahtera bagi seluruh warganya.
Tulisan ini bukan untuk menyudutkan pihak manapun, melainkan sebagai ajakan agar kita bersama-sama membangun desa yang terbuka, adil, dan partisipatif. Karena desa bukan hanya tempat tinggal, tetapi juga tempat kita menanam harapan.
Penolakan pemerintah desa dalam memberikan informasi bisa berimplikasi hukum. Dalam Pasal 52 UU KIP ditegaskan bahwa badan publik yang dengan sengaja tidak menyediakan, tidak memberikan, dan/atau tidak menerbitkan informasi publik dapat dikenakan sanksi administratif bahkan pidana. Hal ini menunjukkan bahwa keterbukaan bukanlah pilihan suka-suka, melainkan kewajiban hukum.
Lp:Nopri Hartono
Leave a Reply