Erri Tjakradirana, S.H., M.H. & Johan Imanuel, S.H.,para Advokat Serta Praktisi Hubungan Industrial Keberatan atas Redaksional  Halaman 21 Kepmenaker RI No. 76 Thn 2024

 

Jakarta, 2 April 2024

Perihal :Keberatan atas Redaksional pada Halaman 21 Kepmenaker RI No. 76 Tahun 2024 tentang Pedoman Pelaksanaan Hubungan Industrial Pancasila tertanggal 28 Maret 2004

Kami, Erri Tjakradirana, S.H., M.H. dan Johan Imanuel, S.H., para Advokat dan Praktisi Hubungan Industrial bersama ini menyampaikan keberatan sebagaimana perihal tersebut di atas. Pada khususnya atas redaksional dengan bunyi sebagai berikut (kami kutip): “Untuk PKWT, perjanjian kerja ini dapat mempersyaratkan masa percobaan. Dalam masa percobaan, kedua belah pihak dapat memutuskan hubungan kerjanya tanpa syarat artinya tanpa kompensasi pengakhiran hubungan kerja, akan tetapi … dstnya” Atas redaksional tersebut, tentunya hal ini akan menimbulkan norma baru. Dikarenakan pada saat ini norma yang berlaku, yakni sebagaimana diatur dalam Pasal 60 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Yang pada intinya menyatakan bahwasanya masa percobaan kerja hanya berlaku bagi Perjanjian Kerja untuk Waktu Tidak Tertentu (“PKWTT”) dan paling lama 3 (tiga) bulan saja. Dengan demikian tidak ada ketentuan dalam undang-undang yang mensyaratkan percobaan bagi pekerja dengan status Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu (“PKWT”).

Berdasarkan hal tersebut di atas kami sangat keberatan dengan adanya redaksional dimaksud dan meminta agar Menteri Tenaga Kerja untuk mencabut dengan segera Kepmenaker No. 76 Tahun 2024 dan digantikan dengan yang keputusan yang baru yang merevisi atau memperbaiki kesalahan redaksional a quo. Bilamana tidak dilakukan pencabutan, maka dikhawatirkan akan menimbulkan kekacauan hukum dalam mengimplementasikan hubungan kerja berdasarkan Hubungan Industrial Pancasila.

Sebagaimana kita ketahui bersama berdasarkan tata urutan peraturan perundang-undangan Ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (“UU 12/2011”) juncto Undang-Undang No. 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (“UU 15/2019”) juncto Undang-Undang No. 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (“UU 13/2022”), jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan dirumuskan sebagai berikut:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4. Peraturan Pemerintah;
5. Peraturan Presiden;
6. Peraturan Daerah Provinsi; dan
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Makna hierarki itu sendiri adalah penjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (lex superior derogat legi inferior).

Kemudian Pasal 8 UU 12/2011 menjelaskan tentang kedudukan, serta kekuatan hukum peraturan perundang-undangan lain yang tidak disebutkan sebagai berikut:

(1) Jenis Peraturan Perundang-Undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, Lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

(2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

Dengan demikian meskipun Menteri Tenaga Kerja memiliki kewenangan untuk membuat peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, namun peraturan tersebut harus berasaskan lex superior derogat legi inferior.

Demikian press release kami agar menjadi perhatian demi tegaknya keadilan substantif.

Salam keadilan..!!

Para Advokat dan Praktisi Hubungan Industrial