Kapal Israel Dihantam Rudal Diduga Milik Iran di Laut Arab

Jakarta- Sebuah kapal kargo milik perusahaan Israel rusak setelah dihantam peluru kendali yang diduga milik Iran di Laut Arab pada Kamis (25/3).
Seorang pejabat keamanan Israel mengatakan bahwa insiden yang dicurigai merupakan bentuk serangan dari Iran itu terjadi ketika kapal kargo tengah berlayar dari Tanzania menuju India. Meski rusak, kapal dapat melanjutkan pelayaran setelah serangan itu terjadi.

Dilangsir dari https://m.cnnindonesia.com “Berdasarkan situs berita Israel, Ynet, kapal berbendera Liberia itu tidak mengalami kerusakan serius. Situs berita Channel 12 melaporkan kapal tersebut milik Manajemen XT, yang berbasis di kota pelabuhan Haifa.

Sementara itu, perusahaan keamanan maritim Dryad Global menyatakan pihaknya menduga ada kapal kontainer lainnya yang terlibat dalam penyerangan itu. Kapal tersebut adalah MT LORI.

Dryad Global menyatakan MT Lori sempat berhenti total selama tiga jam saat dalam perjalanan ke pelabuhan India, Mundra, dari Dar Es Salaam.

Hingga kini, Reuters belum menerima jawaban konfirmasi terkait insiden itu dari Manajemen XT maupun pemerintah Israel.

Insiden ini terjadi sebulan setelah Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menyalahkan Iran atas ledakan di atas kapal MV Helios Ray dari negaranya di Teluk Oma

Dalam konteks ini, Luhut menaruh perhatian mengenai hal ini. Hal itu disampaikan oleh Juru Bicara Menko Marvest Jodi Mahardi kepada CNBC Indonesia, Jumat (18/9/2020).

“Pak Menko juga angkat bahwa penjualan senjata berteknologi tinggi dari AS juga sepertinya tidak sepantar dengan yang diberikan ke Singapura. Jadi dibutuhkan signal bahwa memang betul AS melihat Indonesia sebagai mitra strategis,” kata Jodi.

Jodi membenarkan kekecewaan Luhut berkaitan dengan penjualan jet tempur F-16 Block 72 Viper ke Indonesia yang merupakan masih generasi ke-4, dan AS malah bersedia memberikan jet tempur lebih canggih generasi ke-5 yaitu F-35 ke Singapura.

Lupakan jet tempur siluman generasi 5 apalagi generasi 6, bagaimana dengan jet tempur seperti Rafale atau F-15 EX yang generasi jauh di bawahnya, buat Indonesia masih relevan?

“Jelas masih relevan dikaitkan dengan Renstra (Rencana Strategi) 25 tahun sejak 2010. Karena dari sisi kapabilitas dan spefisikasi teknis F-15 EX dan Rafale adalah multirole combat fighter. Artinya bukan saja digunakan untuk pertempuran jarak dekat, tapi jarak jauh,” kata pengamat militer Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (Lesperssi), Beni Sukadis kepada CNBC Indonesia, dikutip Kamis (25/3).

Selain beberapa fungsi tersebut, jet tempur bidikan Indonesia masih bisa menjadi pencegat jarak jauh dan melakukan serangan udara ke darat dengan rudal air-to-surface missile (ASM) atau rudal yang didesain untuk diluncurkan dari pesawat militer seperti jet tempur.

Selain menjadi penggentar bagi negara lain, kehadiran jet tempur memang diperlukan demi memperbarui alutsista yang ada. Indonesia tercatat pernah memiliki beberapa unit pesawat lama, misalnya Hawk yang sempat jatuh menimpa beberapa rumah warga di area Pangkalan Udara Roesmin Nurjadin Pekanbaru Juni tahun lalu.

“Untuk menggantikan F5 AS, Hawk Inggris dan modernisasi setidaknya dibutuhkan 3 atau 4 skuadron. Kalau dikatakan perlu generasi keenam, bukan hal mendesak. Jadi yang harus dilihat kapabilitas dan alokasi anggarannya,” jelas Beni.

TNI memang menyatakan sedang mengincar jet tempur anyar untuk menggantikan peralatan tempur yang sudah mulai usang (rundown) atau purna tugas.

“Di skuadron kita ada pesawat yang sudah purna tugas namun belum ada penggantinya, saya kira itu jadi prioritas,” kata Kadispen TNI AU Marsekal Pertama TNI Indan Gilang kepada CNBC Indonesia, dalam program Profit, Senin (22/2/2021).

Pengembangan jet tempur generasi ke 5 dan ke-6 kebanyakan berasal dari negara dengan industri alat utama sistem senjata (alutsista) yang maju, misalnya F/X dari Amerika Serikat (AS), MiG-41/PAK-DP (Rusia) hingga Future Combat Air System (FCAS) yang merupakan gabungan antara Jerman, Prancis dan Spanyol.
Aapakah Indonesia bisa masuk ke dalam mega proyek ini?

“Dengan investasi teknologi tinggi (hitech), RI belum mampu untuk memproduksi sendiri hingga jangka panjang. Justru yang harus dilakukan adalah pelaksanaan kebijakan offset, sehingga ketika kita beli dari negara asing, tapi juga Produksi spare partnya di RI, Sehingga ada timbal balik yang menguntungkan bagi RI dan negara terkait,” kata pengamat militer Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (LSPSSI), Beni Sukadis.

Memang butuh biaya yang tidak sedikit demi menggarap proyek besar tersebut. Selain negara di atas, ada juga Inggris yang bekerjasama dengan Italia dan Swedia dalam menggarap proyek jet tempur Tempest, selain itu China juga mengambil langkah yang sama. Agak sulit rasanya bagi Indonesia untuk bisa masuk ke dalam proyek tersebut.

“Saya pikir untuk ikut Tempest, dan lain-lain, belum ke arah sana dalam kebijakan pengadaan untuk alutsista kita ya. Sekarang dibutuhkan adalah modernisasi berdasarkan renstra tersebut di atas yaitu memenuhi MEF 3 (Minimum Essential Force),” kata Beni.

Indonesia juga dikabarkan masih melakukan renegosiasi dengan Korea Selatan dalam pengembangan KFX/IFX. Indonesia masih berminat dalam kelanjutan proyek yang sudah ada sejak pemerintahan Presiden Susilo BambangYudhoyono (SBY).

“Apalagi saat ini masih terlibat dengan proyek KFX dengan Korsel. Kenapa tidak dilanjutkan saja jika memang akan menguntungkan Indonesia dalam jangka panjang,” sebutnya