Buronan Djoko Tjandra di Jakarta,Kejaksaan Agung Meradang Dibuatnya

Jakarta,selidikkasus.com Djoko Tjandara buronan kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali kembali menjadi perbincangan publik,pasalnya Direktur PT Era Giat Prima (EGP) di ketahui berada di indonesia pada 8 juni 2020 saat mendaftarkan Peninjauan Perkara (PK) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas kasus yang membelitnya.

ST Baharudin Jaksa Agung mengakui Intelejen Kejaksaan Agung lemahnkarena tak berhasil menangkap Djoko Tjandara saat di Jakarta.

“Pada tanggal 8 juni Djoko Tjandra informasinya datang ke Pengadelina Negeri Jakarta Selatan untuk mendaftar PK-nya,jujur ini kelemahan intelejen kami,tetapi itulah adanya” turur Burhanuddin dalam rapat kerja Komisi III DPR RI di Komplek Parlemem Jakarta,senin 29/6 lalu.

Djoko Tjandra diketahui selama ini tinggal di Papua Nugini,dan Kemenkumham mengaku tidak memperoleh data keimigrasian ihwal kedatangannya ke jakarta.

Bermula dari Bank Bali kesulitan menagih piutang denganntoral Rp 3 triliun yang tertanam di Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI),Bank Umum Nasional (BUN) dan BanK Tiara pada 1997 yang lalu,namun tagihan tersebut tidak pernah cair walaupun ketiga Bank tersebut masuk perawatan di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).

Direktur Utama Bank Bali Rudy Ramli menjalin kerja sama dengan pihak EGP yang disana ada nama Setya Novanto dalam jajaran direksinya,Novanto menjabat sebagai Bendahara Partai Golkar.

Januari 1999,perjanjian kerja sama ditanda tangani oleh Rudy Ramli,Direktur Bank Bali Firman Sucahyo dan Novanto,proses penagihan cessie menjadi maian karena fee yangndiperoleh PT EGP hampir separuh daribpiutang yang ditagih.

Dari Rp 905 miliar yang digelontorkan Bank Indonesia dan BPPN,PT EGP menerima Rp 546 miliar,sedangkan Bank Bali kebagian Rp 359 miliar.

Bapepam dan Bursa Efek Jakarta tidak mendapat laporan,padahal Bank Bali telah melantai di bursa itu,dan penagihan kepada BPPN tetap dilakukan Bank Bali bukan oleh PT EGP.Glenn MS Yusuf Kepala BPPN saat itu menyadari sejumlah kejanggalan,akhirnya membatalkan perjanjian cessie.

Dugaan tidak pidana korupsi terkait pengalihan hak tagih ini terendus Kejaksaan Agung,10 orang ditetapkan sebagai tersangka,tapi hanya 3 orang yang dijatuhi hukuman penjara yakni Djoko Tjandra,Syahril Sabirin (Mantan Gubernur BI) dan Pande Lubis (Mantan Wakil Kepala BPPN).

Pada 29 september 1999 – 8 november Djoko ditahan oleh Kejaksaan,dan kemudian ia berstatus tahanan kota hingga 13 januari 2000.

Pada awal februari 2020 kasusnya bergulir ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan,meski sebelumnya sempat menahan Djoko pada 14 januari – 10 februari,Djoko kembali tahanan kota berkat ketetapan wakil ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan,6 maret putusan sela Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan dakwaan jaksa terhadap Djoko tidak dapat diterima dan iapun dilepaskan dari tahanan kota.

Di Penhadilan Tinggi DKI Jakarta Jaksa mengajukan banding,Antasari Azhar (JPU) menuntut Djoko dengan pidana 1,5 tahun karena dinilai yang bersangkutan terbukti melakukan tindak pidana korupasi dalam kasus Bank Bali,Muchtar Ritonga dan Sultan Mangun Majelis Hakim yang diketuai Soedarto justru melepaskan Djoko dari segala tuntutan.

Perbuatan tersebut dianggap dakwaan JPU terbukti secara hukum,namun bukan sebagai perbuatan pidana melainkan perdata,sampai Jaksa mengadukan Kasasi ke MA namu lagi lagi Pengadilan melepaskan Djoko dari segala tuntutan.

Sekitar tahun 2008,Kejaksaan Agung mengajukan PK atas putusan bebas Djoko Tjandra,MA menerima PK tersebut dan menyatakan Djoko Tjandra bersalah dan menjatuhkan hukuman 2 tahun penjara,selainitu uang miliknya di Bank Bali RP 546,166 miliar disita untuk negara,namun sehàri sebelumnya Djoko Tjandra melarikan diri dan diduga berada di Papua Nugini dan ia ditetapkan sebagai buron.Anna Boentaran istri Djoko mengajukan permohonan uji materi Pasal 263 ayat 1 Undang undang nomoe 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.Hakim MK pun mengabulkan permohonan tersebut,namun keputusan itu tak berlaku surut,Djoko Tjandra tetap terpidan dan buron.Sekretaris NCB Interpol pada 5 mei 2020 memberitahukan atas nama Djoko Soegiarto Tjandra telah terhapus dari sistem basis data terhitung tahun 2014,karena tidak ada permintaan dari Kejaksaan Agung RI.

Ditjen Imigrasipun menghapus nama Djoko Soegiarto Tjandra dari sistem perlintasan pada 13 mei 2020,namun 8 juni yang lalu Djoko Tjandra disebut pengacaranya berada di indonesia dan mengajukan PK,Kuasa Hukum Andi Putra Kusuma mengaku tak tahu bagaiman Djoko bisa masuk indonesia.

27 juni 2020 terdapat permintaan DPO dari Kejaksaan Agung RI hingga nama Djoko dimasukan dalamnsistem perlintasan dengan status DPO.pada 29 juni lalu,Jaksa Agung menyebutkan Djoko Tjandra mengajukan PK di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan,namun sangat disayangkan petugas gagal menenagkap buronan itu.

(Gun’s/Jakarta)