Kepulauan Aru Maluku,Manusia dimata tuhan itu sama bagaikan pepatah mengatakan Duduk Sama Rendah Berdiri Sama Tinggi.namun dimata manusia, miskin bukan hal yang mustahil namun korupsi adalah satu perbuaptan melanggar hukum dan patut di hukum sesuai dengan perundang undangan yang berlaku di wilayah NKRI.
Menurut Pakar Hukum pidana Dr.Muhammad Nurul Huda.SH.MH. ia menuturkan bahwa, dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor diterangkan “Yang dimaksud dengan keadaan tertentu dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.
Meski dari sisi aturan sudah ada, dirinya meyakini, tidak ada jaminan bahwa penegakkan hukuman mati bagi koruptor akan memberikan efek jera kepada mereka yang berniat melakukan tindak pidana korupsi. pungkasnya
Sementara fakir miskin di mata pemerintah,orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan/atau mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kehidupan dirinya dan/atau keluarganya.
Kemudian dalam Pasal 1 angka 2 UU Fakir Miskin dijelaskan apa yang dimaksud dengan penanganan fakir miskin sebagai berikut:
upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat dalam bentuk kebijakan, program dan kegiatan pemberdayaan, pendampingan, serta fasilitasi untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara. Sebutnya
Sasaran penanganan fakir miskin ditujukan kepada:
[1] perseorangan;
keluarga;
kelompok; dan/atau
masyarakat.
Pendataan Fakir Miskin Pada praktiknya Menteri Sosial harus menetapkan kriteria fakir miskin sebagai dasar untuk melaksanakan penanganan fakir miskin
[2] Bukan hanya itu, seorang fakir miskin yang belum terdata dapat secara aktif mendaftarkan diri kepada lurah atau kepala desa atau nama lain yang sejenis di tempat tinggalnya.
[3] Artinya ada keaktifan secara 2 arah dari pemerintah dan dari pribadi fakir miskin.
Selain 2 subjek di atas, ternyata masyarakat pun memiliki peran serta dalam penyelenggaraan dan pengawasan penanganan fakir miskin sebagaimana disebutkan Pasal 41 ayat (1) UU Fakir Miskin.
Data fakir miskin yang telah diverifikasi dan divalidasi yang disampaikan kepada Menteri Sosial, ditetapkan oleh Menteri Sosial, yang nantinya penetapan tersebut merupakan dasar bagi pemerintah dan pemerintah daerah untuk memberikan bantuan dan/atau pemberdayaan.
[4] Terkait pertanyaan Anda, pada praktiknya masih banyak fakir miskin yang tidur di pinggir jalan, karena hal tersebut berhubungan dengan pendataan kriteria fakir miskin, UU Fakir Miskin mengatur secara ketat dalam hal pendataan guna menghindari pemalsuan data verifikasi dan validasi sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (3) UU Fakir Miskin. Meskipun pemerintah telah memberikan sanksi terhadap yang memalsukan data tersebut di Pasal 42 UU Fakir Miskin berupa pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp50 juta.
Maka dari itu pemerintah melakukan pembagian koordinasi untuk pelaksanaan penanganan fakir miskin dibagi sesuai Pasal 39 UU Fakir Miskin menjadi 3 tingkat wilayah: tingkat nasional: atas koordinasi Menteri Sosial;tingkat provinsi atas koordinasi Gubernur; tingkat kabupaten/kota: atas koordinasi Bupati/Walikota.
Hal ini menurut hemat kami guna terlaksananya penanganan fakir miskin secara terarah, terpadu, dan berkelanjutan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
[5] Penanganan Fakir Miskin
Secara tegas Pasal 19 ayat (1) dan (2) UU Fakir Miskin menyebutkan bahwa penanganan fakir miskin diselenggarakan oleh Menteri Sosial secara terencana, terukur, dan terpadu dalam rangka pemenuhan kebutuhan akan pengembangan potensi diri, sandang, pangan, perumahan, dan pelayanan sosial.
Penanganan fakir miskin yang dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah adalah turunan dari Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”) yang berbunyi:Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.
Karenanya fakir miskin pun berhak untuk:
[6] memperoleh kecukupan pangan, sandang, dan perumahan;
memperoleh pelayanan kesehatan
memperoleh pendidikan yang dapat meningkatkan martabatnya; mendapatkan perlindungan sosial dalam membangun, mengembangkan, dan memberdayakan diri dan keluarganya sesuai dengan karakter budayanya; mendapatkan pelayanan sosial melalui jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan rehabilitasi sosial dalam membangun, mengembangkan, serta memberdayakan diri dan keluarganya; memperoleh derajat kehidupan yang layak; memperoleh lingkungan hidup yang sehat; meningkatkan kondisi kesejahteraan yang berkesinambungan; dan memperoleh pekerjaan dan kesempatan berusaha.
Lebih jelas lagi, dalam Pasal 14 jo. Pasal 1 angka 4 dan 5 UU Fakir Miskin secara tegas mengamanatkan kepada pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk bertanggung jawab menyediakan pelayanan perumahan.
Yang dimaksud dengan ”penyediaan pelayanan perumahan” adalah bantuan untuk memenuhi hak masyarakat miskin atas perumahan yang layak dan sehat.[7]
Jadi menjawab pertanyaan Anda, merupakan tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah untuk memastikan bahwa fakir miskin mendapatkan haknya, salah satunya adalah memperoleh pelayanan perumahan yang layak dan sehat. Apabila hak tersebut tidak terpenuhi, artinya amanat dari UUD 1945 dan UU Fakir Miskin belum dijalankan dengan semestinya. Tutupnya
Lp kaperwil Maluku
Leave a Reply